30 November 2010

PENYESALAN YANG PANJANG

Mataku terbuka perlahan, kulihat jam beker di kamarku menunjukkan jam tiga dini hari. Aku tak tahu mengapa tiba-tiba terbangun. Tapi kurasa, aku tak salah terbangun saat ini. Ku dengar suara seseorang yang selalu membuatku kuat. Suara yang tak berhenti membuatku memahami arti hidup. Dia melantunkan ayat-ayat Alloh begitu fasih. Memecah keheningan malam kala itu. Namun…aku tak kuasa tuk segera menegakkan tubuhku dan melakukan hal yang sama. Seperti ada kekuatan yang dahsyat yang menghalangi jalanku. Aku hanya bisa terbaring dengan terus mendengar lantunan ayat-ayat indah itu.
Satu jam berlalu. Namun, Dia tak kunjung mengakhiri tadarusnya. Hingga coba ku kuatkan hatiku untuk bangkit dan mengikuti apa yang Dia lakukan. Tapi, begitu sulit kurasa. Raga ini terasa terpaku pada kasur yang empuk dan hangat ini. Kucoba tuk terus melawan, tapi sungguh…syaitan-syaitan terasa mengunci setiap otot-otot dalam tubuhku.
Hari berganti hari kejadian itu terus berulang. Sampai tak kusadari bahwa itu adalah sebuah petunjuk untukku, agar dapat mengikuti salah satu sunnahnya, yaitu sholat malam dan tadarus AlQur’an. Hingga hari ke tujuh kejadian berulang. Tapi kali ini dapat dengan mudah aku membuka kuncian syaitan.
Lantunan ayat-ayat Al Qur’an indah itu berkumandang merdu hingga menuntunku menyusuri lorong rumahku. Ku dekati perlahan, semakin nyaman kurasa masuk melalui sela-sela telinga ku. Hingga tak terasa sudah 10 menit aku berada di balik pintu tempat sholat di rumahku.
“Aaawww…!!!!”. Aku terkaget ketika Ayah menepuk pundakku dan berdiri di sampingku.
“Ada apa nduk, apa kamu tidak bisa tidur?”. Ayah bertanya padaku sambil memperlihatkan senyum termanisnya.
“E….E….tidak ada apa-apa Ayah, Aku hanya tersentuh ketika Ayah melantunkan ayat-ayat Al Qur’an dengan fasih dan indah, larut malam pula…”. Aku menjawab dengan muka memerah. Aku merasa kalah saing dengan Ayah sebagai kawula muda, yang seharusnya lebih maju satu langkah di depannya. Ayah terdiam memandangiku, Dia keheranan karena Aku tak seperti biasa masih tertidur pulas.
“E.hm, Ayah..aku...e..ijinkan aku untuk mengakuti jalanmu”. Kuberanikan diri untuk mengatakan isi hati dan gejolak hatiku.
“Apa maksudmu nduk?”. Ayah tak mengerti.
“Ehm..maksud Azizah, besok Azizah ingin mengaji bersama Ayah, seperti yang biasa Ayah lakukan”. Aku mengatakan keinginan yang sebelumnya begitu sulit ku ucapkan, seperti ada gengsi tersendiri bagiku. Ayah pun mengangguk sambil menunjukkan senyumnya yang sulit tergantikan, sambil lalu. Karena ku fikir masih terlalu larut malam itu, aku kembali menuju kamar mencoba memejamkan mata. Ketika jam dinding di ruang tengah menunjukkan pukul enam pagi, aku, Ibu dan adikku mempersiapkan sarapan. Ayah yang biasanya mengawali pagi, justru masih terbaring di kamar tengah. Aku mencoba membangunkan Ayah, karena kulihat Ibu masih sibuk mengurusi adik..
“Ayah…sudah hampir jam tujuh…”. Aku mencoba mengingatkan. Aku heran mengapa Ayah tak kunjung terbangun. Padahal biasanya, Ia begitu sensitif ketika mendengar suara pintu terbuka. Untuk mengobati rasa penasaran, Aku mencoba mendekat dan Ku gerak-gerakkan perlahan tangan Ayah. Aku panik, kucoba meraba pergelangan tangan Ayah. Seakan tak percaya, namun ini nyata. Ayah telah tiada. Aku terkulai lemas, tubuhku terasa ikut pergi bersamanya. Aku hanya bisa meratapi dengan seonggok penyesalan.
“Ya Alloh…belum sempat cita-citaku mengaji bersamanya tercapai, Engkau telah memanggilnya”. Air mataku tak dapat lagi terbendung.
“Kenapa…Engkau hilangkan seyum termanis dan tak tergantikan itu, Juga tak sisakan suara merdunya ketika melantunkan ayat-ayatMu??? Ya Alloh jangan Kau panjangkan lagi penyesalan ini…”. Rintihku. Aku ingin ini adalah terakhir kalinya aku menunda sunnah-sunnahMu.

Fadila_’08

Tidak ada komentar: