17 Desember 2008

Lanjutan Cerpen Buletin

Kidung Kebekuan
Oleh: Liana '06

Bibi tercengang, menangis dan keluar ruangan. Ia merasa shock suaminya selingkuh dengan saudaranya sendiri. Nenek dan Afza juga menangis. Tapi paman tak mengeluarkan setetes air matapun. Ia seperti sudah siap dengan segala resikonya.
Paman mengikuti istrinya keluar ruangan. Kubuntuti keduanya tanpa sepengetahuan mereka. Sengaja aku menguping pembicaraan mereka.
”Ma....semuanya tidak seperti yang engkau pikirkan. Semuanya begitu cepat terjadi”, paman mencoba menjelaskan pada bibi. Bibi tak bergeming, ia tetap menangis, meronta. Lalu paman melanjutkan bicaranya lagi.
”Saat mama bekerja di Brunai, Yuni selalu mengantarkan makanan ke rumah”.
”Aku yang memintanya”, kata bibi memotong pembicaraan. Aku masih menguping.
”Dengar dulu penjelasanku Ma. Awalnya memang tak terjadi apa-apa. Suatu hari ia tidur di kamar Afza, pintunya tak terbuka. Kulihat Afza sedang tak dirumah. Aku tergoda dan.......”.
”Sudahlah Pa...biarkan mama sendiri”.
Paman menghampiriku dan mengusap rambutku.
”Maafkan aku Nay...semua salahku. Kini kau boleh memanggil aku ”Ayah”. Bukan salah ibumu saat itu. Aku yang memaksanya. Maafkan aku telah menelantarkan kalian”.
”Tidak...kau hanya laki-laki tak punya hati. Hanya memikirkan diri sendiri. Perampas kebebasan ibuku. Kau bukan ayahku”, kataku sambil lari kearah ibu dan mencoba memeluknya.
Paman menangis di luar ruangan.
Tiba-tiba ibu kejang. Kuminta Afza memanggil dokter. Tak lama ibu terdiam....wajahnya pucat tetapi sedikit menyungingkan senyuman.
”Innalillahi wa inna ilaihi roji’un” kata dokter perlahan.
Mendengar hal itu, aku merasa dunia akan runtuh. Semua tinggal kebekuan di hatiku, hanya luka di hatiku.
” Ibu...jangan tinggalkan Naysa Bu. Naysa sendiri tanpa ibu....”
Nenek merengkuhku, mencoba menenangkanku. Bibi kembali masuk ruangan dan menangis. Tapi paman tak berani masuk ruangan, ia terisak di luar sana dan aku tak peduli.
Perlahan sekujur tubuh ibu tertutup tanah, aku tak dapat melihatnya lagi, untuk selamanya. Teriring do’a dalam hatiku, kupanjatkan dengan sepenuh hatiku.
”Nay...mulai sekarang kamu tinggallah bersama kami. Kamu, ayah, bibi sekaligus ibu barumu, nenek dan Afza telah mau menerima semua kenyataan ini. Semuanya sudah memaafkanku dan ibumu. Kamu tidak seharusnya menderita Nay...ikutah bersama kami” kata paman padaku setelah semuanya kembali tenang.
Aku hanya mengangguk. Dalam keluarga baru ini aku mulai membangun kepercayaan diriku yang sempat hilang. Aku mencoba menyayangi ayah dan ibuku yang sekarang. Aku ingin memulai hidup bahagia tanpa dicaci maki orang.
Sebulan telah berlalu, semuanya baik-baik saja, saat aku besekolah tiba-tiba handphoneku berdering.
“Assalamu’alaikum. Halo…Ibu ada apa?” tanyaku kaget.
”Nay....cepat kamu kesini Nay...Rumah Sakit Mandiri Sehat”, jawab ibu singkat.
”Ada apa Bu?”.
”Tut...Tut...Tut”
Telpon dimatikan. Dalam hatiku bertanya-tanya ada apa sebenarnya? Siapa yang sakit? Sesampainya di rumah sakit, kulihat Ibu dan nenek menangis di ruang tunggu.
”Ada apa Bu?”
”Nay...ayahmu kecelakaan sepulang dari restaurant dengan kliennya. Sekarang ia dioperasi” jawab ibu singkat
Aku terdiam, duduk dengan lemas. Tiga jam kutunggu ayahku dioperasi. Rasanya setahun Dokter tak muncul dari ruangan yang menakutkan itu
”Bagaimana Dok?” tanya ibu setelah dokter keluar.
Dokter menggelengkan kepalanya. Seperti sudah mengisyaratkan sesuatu, sudah ada arti darinya.
”Kami sudah berusaha semaksimal mungkin Bu. Tapi Allah yang menentukan segalanya. Jantung beliau hancur ketika kecelakaan. Tabahkan hati Ibu dan keluarga yang ditinggalkan”.
Nenek dan ibu berpelukan. Aku tak mampu membendung air mata. Kebekuan terasa menemaniku. Aku tak bisa lepas dari kesedihan. Kedukaan seperti menjadi bagian dari hidupku. Kini aku telah kehilangan ayah dan ibu kandungku. Apa lagi yang kupunya kini?
”Ya Allah...kenapa kau ambil dia ketika aku sudah mempercayainya. Kau sudah mengambil ibuku. Aku sendiri lagi ya Tuhan......Kenapa kau renggut dia dari kehidupanku saat aku sudah berbahagia dengannya. Apa yang harus aku lakukan ya Allah? Rasanya baru sebentar saja dia menjadi bagian dari hidupku. Kupasrahkan semua takdir kepada-MU ya Rabb...” rintihku pelan.
Di bukit ini kembali ku tatap langit, tetap tak ada bintang yang indah. Langit tetap suram tak merona sedikitpun. Bintang jatuh yang kutunggu tetap tak muncul. Serangga malam serasa bernyanyi di berbagai ujung, menyanyikan sebuah kidung kebekuan untukku. Malam semakin larut, semakin dingin. Aku masih sendiri.

17 November 2008

Cintamu Sepanjang Masa


OLEH : Diska'08
Suara yang lembut, kata-kata yang penuh dengan makna, perhatian yang tak kenal lelah, cinta dan kasih sayang selalu kau berikan tanpa pamrih. Semua itu tak akan pernah kulupakan sampai akhir khayatku tiba.............
Engkau sesosok orang yang selalu menemani hari-hari kecilku. Tanpa perantaramu aku takkan pernah ada di bumi ini. Engkaulah ibu, cintamu, kasih sayangmu, lembut sentuhanmu, gaya bahasamu tak akan pernah bisa terlupakan.
Pagi dengan udara yang dingin, angin menusuk tulang-tulangku. Pukul tiga pagi aku terbangun untuk sahur. Aku beranjak dari tempat tidurku untuk segera mengambil air wudlu. Selesai itu aku mendengar ada seseorang di dapur. Aku langsung menuju ke dapur.
Aku melihat semua makanan telah tersaji di meja makan. “ Wah.....kayanya enak ni.......Pasti ibu yang buat, wah jadi lapar ni” Kataku dalam hati. Tidak lama kemudian, kami satu keluarga berkumpul untuk makan sahur. ” Nduk, sini”! Kata ibu. “ Nggih bu”. Jawabku. ” Ada apa bu?”. Tanyaku. ” Ibu mau bicara sebentar”. Kata ibu.” Nduk ...........”Kata ibu. “Nggih bu” Jawabku. Aku mendekatinya dan duduk di sampingnya. Sambil ku tatap wajahnya yang begitu lembut, memancarkan cahaya cinta.
Setetes air mata menetes di pipi yang lembut dari bola matanya yang indah.Ia mencium kedua pipiku dan memelukku. Aku terdiam.....aku......aku.....aku..... pun tak kuasa menahan air mataku yang memaksaku untuk menangis. Aku tak kuasa melihat ibuku menangis. ” Bu, kenapa menangis?” Tanyaku. “Ibu tak apa-apa nduk, ibu Cuma ingin bilang....” Kata ibu dengan suara yang serak. ”Kenapa bu?” Tanyaku penasaran. ”Ibu sayaaaaaaang banget sama kamu nduk. ”Kata ibu.
“Vira juga bu, vira sayaaaaaaang banget sama ibu”Jawabku. “Aku bingung...... .....Kenapa ibu menangis?” Tanyaku dalam hati. Aku pun memberanikan untuk bertanya pada ibu. ”Bu kenapa menangis?” Tanyaku. “Apa ada sesuatu yang ibu sembunyikan dari vira?”Tanyaku lagi. “Tapi kamu jangan sedih ya nduk?”Kata ibu. “Memangnya kenapa bu?”Tanyaku. ”Ibu Insya Allah mau pergi,jauuuuuh banget, kamu jaga adik-adikmu dengan baik ya!”Kata ibu. Aku semakin bingung dengan itu semua, beberapa pertanyaan melintas dalam pikiranku. ”Apakah ibu mau mencari kerja?”Tanyaku dalam hati. Tapi ibu kan sudah mempunyai pekerjaan tetap, walaupun gajinya gak seberapa. Aku jadi tambah bingung.
Tiba-tiba ada suara orang yang mengetuk pintu, tok.....tok......tok...nduk....nduk.....Kubuka mataku.Aku mendengar suara orang –orang di dalam rumahku yang sedang membaca ayat-ayat Allah.
Dubrak!!!
Aku terkejut,seperti ada sesuatu yang terjatuh.Mata ini langsung terbuka lebar-lebar.
Astaghfirullah ternyata aku bermimpi.Tidak lama kemudian aku melihat sesosok ayah di sampingku. Ternyata ayah membangunkanku. Aku pun beranjak dari tempat tidurku. Aku melihat banyak orang di rumah.”Yah,ko banyak orang?”Tanyaku.Memangnya kita ada acara saur bareng?” Tanyaku. Ayah tak menjawabku.
Aku melihat orang-orang itu sedah membacakan ayat –ayat Allah. Aku melihat ada sesosok orang yang terbaring,di depan mereka.Ia mengenakan kain di sekujur tubuhnya. Sepertinya aku mengenal wajah itu.Aku pun lari dengan cepatnya, ku peluk orang yang terbaring lemah itu. Aku cium ia,tapi ia tidak mau membalasnya. Ia hanya terdiam,ia pun enggan memandangku matanya tertutup. Ia hanya tersenyum. Dia adalah ibuku, ibu yang selalu memeluk dan menciumku. Ibuku kini telah tiada. Di umurku yang baru sembilan tahun aku telah ditinggal seorang ibu. Aku sedih.......
Aku teringat mimpiku tadi. Mungkinkah itu suatu peringatan ataupun pertanda. Aku sangat sedih, ku bacakan ayat-ayat Allah di dekatnya dengan suara yang tersendat-sendat. Aku berusaha untuk ikhlas dengan semua ini. Karena semua ini adalah kehendak Illahi robbi. Aku hanya dapat mendoakannya semoga ia tenang di alam sana.
Hari-hari terasa hampa tak ada orang yang berisik di dapur dengan suara-suara piring yang disiapkan untuk persiapan sahur. Aku selalu berusaha bangun lebih awal dari ayah dan adik-adikku. Aku mempersiapkan makanan untuk sahur sendirian karena memang aku adalah anak perempuan tunggal adikku laki-laki semua, tetapi kadang mereka juga membantunya walaupun hanya beberapa kali saja. Karena biasanya mereka pergi untuk sholat malam ke mushola dan pulang sekitar pukul dua, setelah itu mereka istirahat jam setengah empat baru bangun.Walaupun ibu tidak ada aku harus tetap semangat untuk membantu keluarga. Ayah dan adik-adikku sangat baik mereka kadang juga membantu untuk mempersiapkan untuk persiapan berbuka.
Hari-hari tanpa ibu telah terlewati setelah beberapa bulan. Ayah memutuskan untuk menikah lagi dengan wanita lain. Awalnya aku dan adik-adikku tak setuju dengan permintaan Ayah, tapi setelah aku dan adik-adikku berunding kami merasa kasihan juga dengan ayah.Karena waktu itu kami berpikir negatif tentang ibu tiri jadi kami takut seperti kisah-kisah yang diceritakan oleh orang-orang bahwa ibu tiri itu jahat. Alhamdulillah ayah menemukan seorang istri yang baik ia juga seorang janda. Wanita itu memakai jilbab dan mempunyai satu orang anak ia menjadi seorang janda, suaminya meninggal karena kecelakaan. Setelah lama hidup bersama kami hidup bahagia. Ternyata tidak semua ibu tiri itu jahat aku dan adik-adikku sangat bersyukur pada Allah, karena telah memberikan pengganti seorang ibu yang sangat baik walaupun ia tidak bisa menggantikan sesosok ibu yang dulu melahirkan kami.

gambar dari: http://gendut1mu3t.files.wordpress.com

07 November 2008

Kurelakan kepergianmu


oleh : Erma Susilowati'08

Tujuh bulan telah berlalu, namun bayangmu selalu hadir dalam setiap waktuku. Dirimu telah meninggalkanku, meninggalkan orang – orang yang menyanyangimu. Kau pergi tanpa sepatah kata yang terlontar, kau paergi begitu saja mengejutkan semua orang.
Kenangan – kenangan bersamamu terukir indah dalam kalbuku dan akan terus bersemayam dalam kalbu. Begitu indah untuk aku lupakan. Hari- hari bersamamu begitu menyenangkan dan berarti untukku. Sekarang tak ada yang membantuku yang menopang segala keluh kesahku dalam menjalani roda kehidupan yang terus berjalan tanpa henti. Andai aku bias memutar waktu lalu kuhentikan waktu itu aku tak kan kehilangan dirimu secepat ini.
Hari raya pun telah tiba dan sekarang telah berlalu. Tahukah dirimu disana bahwa hatiku meronta, menangis disini setelah tersadar bahwa dirimu tak ada disampingku. Orang – orang berdatangan bersilaturahmi, kurasakan kesepian yang mendalam tanpa canda dan tawamu yang membuat diriku selalu tertawa. Semua itu tinggal kenangan manis yang berbeslit di hatiku dan takkan mudah untuk aku lupakan. Bagiku tujuh bulan itu seperti baru kemarin diriku kehilanganmu.
Aku mengunjungi rumahmu, membawakanmu bunga mawar yang kau sukai dan kutaburkan bunga- bunga itu diatas pusaramu. Tanpa terlupakan kualunkan do’a – do’a tulusku untukmu, untuk ketenanganmu disana agar kau bahagia didekat-Nya,di surga yang abadi.
Aku berusaha keluar dari kesedihan yang terus membayangi langkahku. Menghabiskan air mata cukup sampai disini namun aku tak snggup. Aku masih butuh waktu untuk merelakan kepergianmu dengan sepenuh hatiku. Menutup lembaran- lembaran hidupku yang telah kau warnai dengan kebahagiaan dan kesedihan yang tak kunjung hilang ini dan berusah membuka lembaran- lembaran hidup yang baru tanpa dirimu lagi mengikhlaskanmu kembali kepada-Nya karna sesungguhnya engkau milik-Nya aku pun juga dan semua yang hidup di didunia ini adalah milik-Nya. Akan tetapi, jangan memaksaku menghilangkan semua kenangan – kenangan indah bersamamu dari memoriku.
Setiap malam, saat ku mulai terlelap tawamu selalu hadir, aku terbangun keluar dan melihat langit yang begitu luas dan indah jika ada bintang dan bulan yang menyinarinya. Saat itu pula aku menunjuk satu bintang yang paling terang diantara beribu – ribu bintang yang bertebaran. Dari situlah aku dapat melihat wajahmu yang begitu tampan bagiku, dan membayangkan senyumanmu cara itu aku lakukanuntuk mengobati kerinduanku yang tak berujung dan tak pernah ‘kan berakhir, dengan begitu kesedihanku berkurang. Sulit bagiku mencari orang yang sepertimu, yang perhatian kepada saudara – saudaranya, ringan tangan, baik hati, TOP banget dech. Tapi sekarang aku hanya bisa berkata : “Selamat jalan kakakku tersayang kami disini akan selalu mendo’akanmu dan semoga suatu saat nanitu entah itu kapan aku berharap kita dapat berkumpul ditempat yang di janjikan Allah swt bagi hamba- hamba –Nya yang beriman dan bertakwa yaitu, surgaMu. Amien …. “

gmbar dari: http://jokocahyono.files.wordpress.com/2007/10/8.jpg

30 Oktober 2008

Perempuan Perkasa


Oleh: Fadilaturrohmah ’08

Harga barang-barang melambung selangit. Bahan-bahan pokok sulit dicari. Ribuan orang berjejer tiap pagi mengantri minyak tanah. Anak-anak tak lagi dapat bersekolah. Pengangguran kian hari kian bertambah. Rakyat semakin menderita dengan terkuaknya tabir busuk penghuni Senayan. Bahkan banyak ditemui korban tak berdosa akibat tidak sanggup memikul beban ekonomi keluarga. Untungnya di desa Tlagu, Gunung Sari, masih tersimpan setitik sinar. Siti, seorang gadis desa berusia 18 tahun yang mampu menjawab tantangan hidup. Ia mengorbankan sekolahnya untuk berjualan di pasar tradisional yang letaknya tak jauh dari rumah tempat ia berteduh bersama bapaknya.
Angin pagi kala itu terasa menusuk sampai ke ulu hati. Berhembus…pelan… dan semakin energik terasa di badan. Tapi, tak satupun orang, bahkan makhluk hidup lain yang menyapanya. Hari begitu dingin sudah tentu tak ada yang mau menunjukkan merahnya untuk keluar dari pintu rumah bahkan sejengkal tangan pun. Tapi tidak dengan Siti, dia adalah perempuan perkasa.
Jangankan angin dingin, hujan badai pun dia tak takut. Siti anak yang solehah. Dia tak pernah telat salat lima waktu, puasa, zakat apalagi. padahal dia tergolong anak yang patut menjadi mustahik. Tapi dia pikir selagi dia bisa, kenapa tidak?. Menurut dia masih banyak orang yang lebih tak beruntung dibanding dirinya. Masih harus meminta-minta di jalan. Tapi tidak dengan Siti,ia memang kuat.
“Heran aku…desa sepadat ini tak ada yang mau menunjukkan batang hidungnya?Mereka pikir angin itu akan memangsa?” batin Siti menjerit, kecewa. Tapi itu tak mematahkan langkahnya menuju pasar. Ia tak peduli akan sunyi jalanan ataupun ancaman keamanan dirinya. Tak terasa satu jam berlalu dia menapaki jalan terjal di desa Tlagu. Tak lama kemudian dia berpapasan dengan seorang lelaki paruh baya. Amin namanya. Tanpa Siti ketahui, dirinya memendam rasa kekaguman pada sosok kuatnya perempuan cilik. Tapi ia hanya bisa mencibir tak selalu bisa dikenang oleh Siti. Karena memang hanya itu yang bisa dilakukan oleh Amin. Maklum, Siti hampir tiap hari bertemu dengan banyak orang di pasar. Amin takut Siti tak bisa selalu mengingatnya. Dengan mencibir paling tidak Siti bisa mengingat namanya, walaupun semburat awan hitam yang bisa Siti ingat dari sosok Amin.
“Hai Sit, bagaimana daganganmu hari ini?” tanya Amin pada Siti sambil menekuk tangannya di pinggang.
“Hei!!kau ini buta? jangan bertanya dikala aku baru keluar dari kandang! tentu takkan pernah kujawab!!”Siti meradang.
”Uhhhhh……” Siti menghela nafas panjang. Dia meneruskan langkahnya menuju tempat dimana dia mencari sesuap nasi untuk seluruh anggota keluarga. Maklumlah, bapak Siti sudah lama terbaring di kasur dengan lumpuh yang dideritanya. Ibunya sudah lama dipanggil Yang Kuasa. Dua orang kakaknya sudah lama pergi merantau ke Sumatera.
Siti tak mau diam berpangku tangan melihat bapaknya terbaring tak berdaya. Apapun akan dilakukannya guna membantu perekonomian keluarga.
“Sayurrrr……wortel-wortel……seger……seger……!!!!” seorang pedagang sayur menawarkan dagangannya ke pengunjung pasar.
“Bu, daging seger lho bu……”seorang pedagang kembali menawarkn dagangannya. Hiruk pikuk warga pasar mulai terdengar ketika Siti menggelar dagangannya. Dia menjual sayur mayur yang dia petik dari kebunnya sendiri.
“Yur….sayurrr….!!!!” teriak Siti keras-keras. Namun tak kunjung membuahkan hasil. Ia benar-benar kecewa. Tanpa pikir panjang, ia langsung kembali mengemasi dagangannya. Siti segera pulang setelah dua jam tak membuahkan hasil.
“Kenapa to nak……..jangan patah semangat!” Mbok Darmin mengingatkan.
“Sudahlah !! mbok!!aku capek!!!!” cetus Siti kesal.
“Moso’ baru dua jam saja sudah tak bertenaga? Biasanya matahari tenggelam pun kau masih betah berada disini!” tegas mbok Darmin yang sudah dianggap Ibu sendiri oleh Siti.
“Aku heran mbok, kenapa pasar sebesar ini hanya ada satu dua orang saja yang mampir!!!”.
Siti nampak amat kesal, dia bicara begitu keras sambil menjejakkan kaki kanannya keras-keras ke lantai berdebu di pasar itu.
“Apa orang desa telah berganti baju menjadi kucing kota?” Siti mengeluh. Air matanya menetes. Tak mampu lagi untuk ditahan. Dia tak kuasa terus berada di pasar, dan segera beranjak menuju rumah.
Belum selesai masalah kenaikan harga, rakyat miskin seperti Siti sudah kembali menderita dengan dibangunnya mall-mall besar. Tentu berimbas pada omset pedangang pasar tradisional. Bukan hanya Siti, pedagang lain pun ikut mengeluh. Mereka kehilangan mata pencahariannya.
“Greekkk…….gubrakkkk!!” keras–keras pintu dibuka. Siti menaruh barang dagangannya spontan di dekat pintu. Dia langsung menuju kamar, tapi tanpa sadar bapaknya terbangun dari tidurnya.
“Anakku……Siti, sini nak!” rintih bapak Siti.
Siti segera berbalik langkah menuju kamar bapaknya.
“Ehmmmmm...”, Siti datang tanpa kata-kata, dia hanya menunjukkan wajah muram.
“Bila seorang anak murung, Bapak pasti tahu…..” bapak berbisik ditelinga Siti.
Siti tak kuasa menahan air mata. Dia telah berubah menjadi sosok yang cengeng dalam waktu sekejap. Duduk bersimpuh di kaki Bapaknya.
“Pak maafin Siti ya? Siti ndak bisa lagi jualan di pasar pak…..” kata Siti sambil menunduk.
“Kau bukan Siti yang kukenal!!? Siti yang kukenal adalah seorang perempuan perkasa. Dia takkan pernah mengenal putus asa!” Bapak Siti bernada keras sambil tetap berbaring di kasur kapuk yang isinya telah menciut.
“Aku bosan pak, bosan dengan tiap keputusan yang diambil pemerintah! Mereka terus membangun mall-mall besar, tanpa sadar mereka menusuk ulu hati pedagang pasar!” Siti terus menerus meluapkan perasaan yang berkecamuk di hati dengan napas terengah-engah.
Bapaknya tak mampu berkata apapun, dia diam. Tak tahu apa yang harus dia lakukan tuk mengobati luka hati anaknya.
“Siti, bapakmu bukanlah orang hebat yang mampu merubah semuanya, bapak hanya bisa berdoa mudah-mudahan dunia ini segera menunjukkan keadilan pada orang kecil seperti kita.”
Bapak Siti menatap langit–langit rumah yang tampak usang sambil menengadahkan kedua tangannya memohon pada yang Kuasa. Sedangkan Siti pergi ke kamarnya meringkuk sendiri merenungi apa yang telah ia perbuat. Sementara senja di luar menampakkan warna yang begitu damai. Siti kemudian sadar akan sebuah perjalanan dan perjuangan hidup. Ia menatap dinding kamarnya. Ia menumbuhkan semangat diri, lalu membayangkan esok pagi ia akan menikmati setiap jejak langkahnya dan dengan semangat membara ia akan meneriakkan ”Sayur...!!! Sayur..........!!!”?

gambar dari: menotimika.wordpress.com

13 Oktober 2008

PUISI


Doa Pecinta

Saat termangu dalam cinta
Damai terasa begitu dekat
Tak terasa...
Saat menatap dalam cinta
Hanya janji yang terucap
Tak bermakna...
Telah lama terbuai,
Indahkan janji yang Kau cipta
Penuh upaya hindari,
Rahmat yang Kau hadirkan
Aku tak berhak meminta
Karena aku tak bisa menjaga
Aku tak layak membenci
Karena aku tak pernah memiliki
Andai semua pun sirna
Pecinta kan berdoa
Jangan Kau cemburui dunia
Karena cinta sang pecinta
By PR’07


HARI YANG DIDAMBA
Dunia yang elok dengan mimpi
Alam bersua pada malaikat kecil
Merajuk ingin segera pagi
Dengan kumandang nada suci
Dunia telah terkoyak dalam sebulan
Berpacu dalam lapar dan dahaga
Merorong mengharap keridho-an
Meski tak tahu balasan apa nantinya
Dunia kan bersorak
Menyambut jiwa-jiwa suci
Dan alam pun mengharap surya
Tak tenggelam hari ini...
By PR’07

16 September 2008

Cerpen


Sekelumit Nyanyian Surga
Oleh : Andi D Handoko

Kau akan tampak lebih cantik jika tak ada garis hitam yang melingkari indah matamu. Perpaduan yang sangat memesona hati jika kau tersenyum kecil tanpa garis hitam tersebut. Sekarang, aku menatap wajahmu yang kelam. Seperti barisan semut dalam tembok yang kusam, jari-jarimu bergerak kecil membentuk untaian tarian magis. Tarian iblis yang pernah ku lihat di mimpi-mimpi malam dan penuh karat menghitam.
Kau hanya diam memaku tanpa tatap. Matamu terpejam seolah-olah kau sedang mengalami mimpi paling sempurna selama kau terlelap di dunia ini. Kulitmu terlihat pucat membeku, tertusuk jarum infus yang selalu memberimu makan agar otot-ototmu kuat untuk menahan roh di dalam tubuhmu. Secercah warna cahaya pagi pun tak membangunkanmu dari tidur yang begitu lelap.
Secangkir kopi pahit selalu ku hidangkan di sisimu. Agar kau menghirup betapa wanginya kopi itu. Dan bangun untuk menikmatinya bersama kicauan burung yang setia menemani pagi bisu. Kopi dengan sedikit gula. Kopi kesukaanmu.
”Aku hanya minum kopi pahit di pagi hari. Tak boleh ada kafein yang masuk dalam tubuhku jika hari sudah beranjak malam. Aku akan sulit tidur” katamu menolak halus tawaranku untuk minum kopi di sebuah angkringan ujung jalan Malaiboro malam itu. Namun pagi ini, kau tak tergugah untuk segera menikmati kopi yang khusus ku siapkan untukmu. Mungkin pikiranku hanya bisa mengira-ngira jika kau sudah bosan untuk menikmati kopi pahit di pagi hari. Dan aku hanya menunggu malam berharap kebiasaanmu menjadi berubah, yakni menikmati kopi pahit di malam hari. Kenyataannya ketika malam tiba, kau masih membeku bersama kopi pahit yang telah dingin di sampingmu.
Dahan-dahan kering telah menjadi lapuk. Keropos akhirnya jatuh terjerembab bersentuhan dengan tanah yang siap menguraikan semua partikel dahan tersebut. Seperti itulah mungkin yang akan terjadi pada tubuhmu yang putih dan sintal itu. Pikiranku terlalu jauh membayangkanmu mendiamkan waktu. Terlalu lama otakku keruh karena tak ada lagi sambutan senyum manismu di setiap hariku.
Semua ini salahku. Penyesalan memang selalu menghantui ketika semua cerita telah terjalani. Jika aku dapat kembali ke masa lalu, maka aku akan melakukan hal yang terbaik dalam hidupmu. Teringat dulu ketika aku mengenalkanmu pada suatu benda jelmaan sesosok iblis kejam. Kemudian ingatanku melayang ke sebuah peristiwa yang melukiskan pertemuan kita pertama kali di sebuah angkringan di ujung jalan Malaiboro, Yogyakarta.
***
Jalanan di sekitar Malaiboro melenggang sepi. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Hujan rintik-rintik mungkin adalah penyebab utama sepinya malam itu. Hanya ada aku dan kau yang berkunjung ke angkringan tersebut. Tatapmu menyiratkan sebuah kesedihan yang mendalam. Namun wajahmu mengatakan sebuah ketegaran yang mampu menutupi semua kesedihan yang kau rasakan. Dalam sebuah jerat kebisuan, aku mencoba memulai percakapan.
”Gilang” aku memperkenalkan diri dan menjulurkan tanganku untuk menjabatmu. Kau tampak tersenyum kecil yang dipaksa. Harapanku untuk menjabat tanganmu sepertinya tak mendapat respon yang baik. Kau hanya mengaduk-aduk segelas teh dihadapanmu dengan sendok kecil di sela-sela genggaman jarimu yang lentik. Ku tahan malu pada penjaga angkringan yang tersenyum simpul. Tanpa membuang waktu yang ada, aku langsung menyeruput kopi panas tanpa gula. Mencoba menenangkan rasa malu dengan berpikir tak ada kejadian di angkringan itu.
Tak terduga kau mengomentari bagaimana aku meminum kopi itu. ”Lidahmu akan mengelupas jika minum kopi panas seperti itu!”. Kau memandangku. Tampak sekali getaran kesedihan yang tersirat di setiap kata yang kau ucapkan itu. Aku hanya diam. Tak berlangsung lama kau berkata lagi, ”Pacarku dulu mengajariku cara minum kopi panas. Tuangkan sedikit kopi panas itu ke alas cangkir kemudian seruputlah, lebih aman bagi lidahmu yang ranum itu. Begitu katanya yang halus mengajariku”. Kemudian sejurus aku melihat air mata yang mengaliri kulit pipimu yang terlihat begitu halus.
Aku menjadi serba salah dan hanya terdiam di sampingmu sambil sesekali memainkan sendok di dalam cangkir kopiku. Seolah waktu berjalan melambat dan kau menyebut namamu dengan jelas. Masih terngiang begitu lembut kau mengucapkan namamu sendiri. Rasti. Lengkapnya Saraswati.
Entah karena suasana mendukung atau memang sengaja takdir mempertemukan kita. Kau dan aku begitu cepat akrab. Setelah menghabiskan segelas kopi dan segelas teh di angkringan itu, kita berjalan menembus jalan Malioboro ditemani malam pekat dengan sentuhan kabut sehabis gerimis. Di sebuah tempat duduk desain taman terbuka di sekitar beteng Vredeburg kau menceritakan semua kisah kesedihan yang kau alami. Aku hanya manggut-manggut mengerti akan kesedihanmu. Cinta katamu. Putus cinta yang sangat menyakitkan.
Ibarat memancing di air keruh. Iblis-iblis dalam benakku membisikkan sesuatu padaku. Mereka menari-nari di setiap rajutan urat sarafku. Akhirnya aku memberimu saran agar kesedihanmu itu lenyap dalam waktu yang sekejap. Kau memandangku tajam penuh rasa penasaran. Aku agak gugup dan menengok kanan kiri kemudian mengeluarkan sesuatu dari celana panjangku. Sebungkus plastik dengan isi beberapa pil iblis.
Ku lihat tatap matamu penuh rasa heran. Kau menggeleng tanda tak setuju. Aku segera meraih tanganmu meyakinkan dengan rayuan iblis yang begitu lembut hingga kau luruh. Kau menurut seperti boneka mainan bocah. Kau mengajakku ke sebuah kontrakan di komplek kampus UGM. Kau menukar isi dompetmu dengan beberapa pil iblis itu. Aku sebenarnya tak bermaksud untuk merusak hidupmu. Aku hanya berusaha untuk mempertahankan status mahasiswaku. Aku tak mau terkena drop out hanya karena tak ada biaya untuk melunasi tanggungan tiap semester. Aku merasa kasihan terhadapmu. Namun tak ada pilihan lain, hanya dari dirimu salah satu harapan untuk itu.
Kau tampak begitu menikmati malam itu dengan sebutir pil iblis yang kejam menyayat urat sarafmu. Kau mengajakku untuk menikmati alam mayamu. Kau meracau tak karuan. Katamu kau sedang bernyanyi nyanyian surga bersama malaikat-malaikat kecil. Aku hanya tersenyum geli mendengar ocehanmu. Tak ku kira kau begitu berani menelan pil itu. Sejenak aku tertarik dengan ajakanmu. Namun akal sehatku masih bekerja dengan baik. Aku tak mau menelan pil iblis tersebut.
Dan tidak hanya malam itu saja kau menghabiskan waktu-waktumu untuk bersenandung mesra di antara ribuan mimpi semu. Setiap waktu kau selalu mencariku untuk menebus pil demi pil hingga kau adalah pintu utama untuk meneruskan pendidikanku. Begitulah seterusnya hingga kau selalu dekat denganku. Sedekat hatimu dengan hatiku.
Kisah itu terus berlanjut. Tak ku sangka perasaan itu muncul. Perasaan yang selalu menginginkan kebersamaan antara aku dan kau. Seperti ranting dengan daun, ku ingin kita sedekat itu. Namun batinku selalu menangis, ternyata kau lebih dekat dengan pil iblis tersebut. Semua memang salahku dan kau selalu mencariku. Bukan mencari hatiku, namun mencari apa yang aku bawa. Yah pil iblis itu. Selalu dan selalu, hingga aku merasa begitu kasihan padamu.
Setiap datang padaku, kau merengek seperti bayi yang telah lama kehilangan susu dari tetek ibunya. Kau selalu meminta pil tersebut. Tak kuasa hati dan dengan tangan berat aku memberikannya kepadamu. Mungkin aku terlalu sayang padamu hingga aku tak bisa melihatmu begitu menderita tanpa mengkonsumsi pil tersebut. Sejenak ku tatap matamu, tak ada tatapan mata yang anggun. Hanya bayangan tarian iblis yang tergambar dalam lensa matamu. Rasti yang dulu telah hilang, namun hatiku selalu berkata bahwa itu adalah kau.
Dan di malam itu. Aku heran kau sudah lama tidak mencariku. Terasa aneh, karena iblis-iblis dalam tubuhmu pasti akan kelaparan jika tidak kau beri pil itu. Jika dulu kau mencariku, malam itu aku mencarimu. Aku datang ke kontrakanmu, namun setengah badanku kaku melihat keadaanmu. Badanmu tengkurap di lantai kamarmu dengan busa putih keluar dari mulutmu yang begitu ranum. Di sekitarmu terdapat banyak pil dan beberapa jarum suntik. Entah dari mana kau dapatkan semua itu. Aku tidak percaya langkahmu terlalu jauh dengan barang-barang seperti itu.
Hingga kini kau masih terbaring tanpa daya di atas pembaringan. Sejenak ku pandang lekat wajahmu. Dalam lelapmu kau tersenyum kecil, seakan-akan kau sedang menikmati alam yang teduh dan damai. Setelah hampir setengah purnama kau terbaring, baru kali ini ku lihat engkau tersenyum. Kau pun kemudian tersadar. Begitu sempurnanya perasaanku kau bisa kembali melihat dunia dengan tatapan indah. Dan setelah urat-urat tubuhmu mengumpulkan daya, kau bercerita tentang apa yang tidak aku ketahui. Suaramu terdengar parau terbata-bata, seolah kau baru saja belajar bicara.
”Gilang, aku baru saja menyinggahi suatu tempat yang begitu indah. Tampak kolam-kolam dengan air jernih dan taman-taman yang terawat rapi. Belum pernah aku menjumpai tempat seindah itu. Lalu aku mendengar nyanyian yang begitu merdu. Merdu sekali hingga hatiku bergetar lembut ketika mendengarnya. Aku pun bertanya pada seseorang yang melintas di tempat itu ’nyanyian apakah itu?’ Dia mengatakan bahwa itu adalah nyanyian surga. Aku ingin kembali ke sana Gilang!”
Aku pun hanya mengangguk tanda setuju dengan apa yang telah kau lihat. Padahal selama ini kau hanya terbaring lemah. Kau menceritakan pada semua orang tentang apa yang telah kau lihat. Hatiku pun bergetar mendengar ceritamu. Terasa begitu aneh. Dan yang tak kalah membuatku kaget adalah ketika kau melakukan tayamum dan beribadah di atas pembaringan itu. Tak pernah ku lihat kau salat dan berdoa sekhusuk itu. Bahkan sebelumnya belum pernah sekalipun aku melihatmu salat.
Aku tertegun melihat perubahan yang begitu drastis pada dirimu. Terus terang aku takut jika harus kehilanganmu. Aku pun sadar untuk memberi ketenangan di dalam ruang itu. Aku keluar dari bilik tersebut. Namun aku kembali dikagetkan dengan raut wajah orang tuamu di luar. Ibumu menangis tertahan. Ayahmu menatapku dengan tatapan mata kosong yang menyiratkan aura kesedihan. Belum sempat aku bertanya apa yang terjadi. Ayahmu memberi selembar kertas. Segera ku buka dan membaca apa isinya. Seperti meledak isi kepalaku. Kertas itu adalah hasil uji laboratorium.
Aku menahan tangis dan berteriak lirih ”Bangsat kau virus iblis”. Setelah itu kepalaku pening dan ku lihat dalam bayanganku, kau jauh terdengar samar menyanyi lagu yang begitu merdu. Entah lagu apa? Mungkin saja nyanyian surga.

09 September 2008

SAYEMBARA CERPEN & CERBER FEMINA 2008

Deadline: Cerber: 28 November 2008 & Cerpen: 30 September 2008
Berbekal pengalaman sehari-hari atau imajinasi yang hebat, Anda bisa menghasilkan karya fiksi menarik dan bermutu. Jangan lewatkan Sayembara Mengarang Cerpen & Cerber femina 2008, dengan Ayu Utami sebagai ketua dewan juri. Inilah jalan untuk mewujudkan impian menjadi penulis kenamaan.
SYARAT UMUM SAYEMBARA CERPEN & CERBER:
• Peserta adalah Warga Negara Indonesia.
• Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan menggunakan ejaan yang disempurnakan.
• Naskah harus asli, bukan terjemahan.
• Tema bebas, namun sesuai untuk majalah femina.
• Naskah belum pernah dipublikasikan di media massa cetak maupun elektronik, dan tidak sedang diikutsertakan dalam sayembara lain.
• Peserta hanya boleh mengirimkan dua naskah terbaiknya.
• Hak untuk menerbitkan dalam bentuk buku dan menyiarkannya di media elektronik ada pada PT Gaya Favorit Press.
• Redaksi berhak mengganti judul dan menyunting isi.
• Naskah yang tidak menang, tetapi dianggap cukup baik, akan dimuat di edisi biasa. Penulis akan mendapat honor pemuatan yang sesuai.
• Keputusan juri mengikat. Tidak dapat diganggu gugat dan tidak diadakan surat-menyurat.
• Karyawan Femina Group tidak diperkenankan mengikuti sayembara ini.
SYARAT KHUSUS CERBER:
• Diketik dengan komputer di atas kertas HVS kuarto dengan jarak dua spasi. Font Arial ukuran 12.
• Panjang naskah antara 40 – 50 halaman.
• Dijilid dan dikirim sebanyak dua rangkap, disertai 1 (satu) disket atau CD berisi naskah.
• Naskah dilampiri formulir asli, fotokopi KTP, dan sinopsis cerita.
• Amplop kiri atas ditulis: Sayembara Mengarang Cerber femina 2008.
• Naskah ditunggu selambat-lambatnya 28 November 2008.
• Pemenang akan diumumkan di majalah femina, terbit akhir April 2009.
SYARAT KHUSUS CERPEN:
• Diketik dengan komputer di atas kertas HVS kuarto dengan jarak dua spasi. Font Arial ukuran 12.
• Panjang naskah 6 – 8 halaman, dan dikirim sebanyak dua rangkap disertai 1 (satu) disket atau CD berisi naskah.
• Naskah dilampiri formulir asli dan fotokopi KTP.
• Amplop kiri atas ditulis: Sayembara Mengarang Cerpen femina 2008.
• Naskah ditunggu selambat-lambatnya 30 September 2008.
• Pemenang akan diumumkan di majalah femina, terbit November 2008.
• Karya pemenang utama akan dimuat di femina edisi tahunan 2009.
Hadiah Sayembara Cerpen
* Pemenang I : Rp4.000.000
* Pemenang II : Rp2.500.000
* Pemenang III : Rp2.000.000
* 3 Pemenang Penghargaan @ Rp1.500.000
Hadiah Sayembara Cerber
* Pemenang I : Rp10.000.000
* Pemenang II : Rp7.000.000
* Pemenang III : Rp5.000.000
* 3 Pemenang Penghargaan @ Rp3.000.000
Sumber: Situs FEMINA

Pengunduran Sayembara Puisi

Karena satu dan lain hal, Lomba Penulisan Puisi yang diadakan Buletin Sastra Pawon akan diundur sekira satu bulan.

penerimaan naskah diundursampai 30 September 2008
pengumuman di Blog Pawon Sastra dilakukan tanggal 6 Oktober 2008
acara di Green House dilakukan sekitartanggal 8 Oktober 2008.

Demikian pengumuman ini. Harap maklum

Redaksi Pawon.

(Sumber: pawonsastra.blogspot.com)


Nah.., masih ada kesempatan lagi buat kamu-kamu yang ingin mengikuti sayembara ini.

03 September 2008

Catatan Kecil.


Catatan Kecil.
(Sabtu 23 Agustus 2008)

Sebuah catatan kecil. Hanya catatan kecil. Mungkin hanya torehan sedikit kata yang mencoba memberi catatan pada kisah hari itu. Sebuah pertemuan dengan keluarga baru. Secara pribadi memang begitu. Generasi penerus mahasiswa Pendidikan Bahasa Sastra indonesia dan Daerah (P. Bastind) FKIP UNS. Saya pribadi, dan segenap keluarga besar Mahasiswa P. Bastind mengucapkan selamat datang dan selamat menapak langkah untuk menuju sebuah kesuksesan.
Cukup heboh memang! Mahasiswa P. Bastind angkatan 2008 berjumlah banyak. Seratus lebih dan di bagi menjadi 2 kelas.
Presentasi BKM
Sebenarnya tak ada yang begitu menarik dalam presentasi tersebut. Hanya mengulang-ulang apa yang telah disampaikan pada acara sebelumnya. Namun saya harus memberi catatan pada acara sebelum presentasi, yakni peserta Osmaru pada waktu itu saya suruh untuk menggambar. Sebenarnya kegiatan itu ada kelanjutannya, namun waktu tidak memungkinkan dan terputus di tengah jalan. Yah, saya hanya bisa menikmati hasil gambar-gambar yang cukup bagus, filosofis, sederhana, lucu bahkan terkadang menggelikan hati.
Kegiatan itu sebenarnya hanya sebuah eksperimen berfilosofi. Dulu, saya pernah mendapat cerita dari seorang sahabat. Dia diberi tugas oleh dosennya untuk menggambar. Dosen itu menyuruh untuk menggambar sesuai petunjuk. Tak hanya satu atau dua gambar, namun banyak gambar. Saya tertarik pada dua perintah untuk menggambar pohon dan menggambar deskripsi tujuan masa depan.
Kata dosen tersebut (saya dengar dari sahabat saya), gambar pohon dapat menjelaskan secara singkat watak dari orang yang menggambarnya. Contoh dari beebrapa pohon yang tidak baik untuk digambar adalah pohon kelapa dan pohon pisang. Pohon kelapa (katanya) menandakan orang yang mudah goyah dalam hidupnya. Sedangkan pohon pisang menandakan orang yang kurang bisa memberi arti pada hidupnya dan mudah putus asa. Juga jangan menggambar pohon yang berbuah karena hal itu menandakan kesombongan. Jangan menggambar batang pohon atau ranting yang patah/terpotong karena itu menandakan keputusasaan dan banyak lagi. Itu saja yang dapat saya terangkan dari cerita filosofi pohon.
Dan catatan berikutnya adalah perintah untuk mendeskripsikan tujuan hidup. Ketika dosen itu menerima semua hasil karya dari mahasiswanya (termasuk karya sahabat saya). Dia tertarik pada apa yang digambarkan sahabat saya. Gambar itu tampak berbeda dari gambar lainnya. Gambar itu adalah gambar kuburan. Yah tujuan hidup adalah kuburan (akhirat-red). Padahal yang lain menggambar seseorang menjadi dokter, gambar seorang perawat, gambar seorang dengan segala kesuksesannya dan lain-lain. Dan sahabat saya itu malah menggambar kuburan. Sebuah filosofi yang mengharukan bagi saya.
Dari cerita di atas, saya mencoba mengeksperimenkannya di acara presentasi BKM. Dan hasilnya? Ada gambar kelapa berbuah, gambar pohon dengan ranting patah dan sebagainya.
Dan gambar kedua tentang deskripsi tujuan hidup, mereka banyak menggambar : gambar seorang guru, gambar rumah dengan keluarga, gambar sekolah, gambar gunung, gambar bintang gambar seorang sarjana muda dan tak ada satu pun gambar sebuah kuburan. Bahkan yang membuat saya tersenyum adalah gambar itik yang bertelur angka rupiah. He he…
Yah semua itu hanya sebuah catatan. Tak ada sebuah penghakiman atau sejenisnya. Kita hanya berbagi pengalaman. Saling memberi catatan. Dan memang semua itu terserah pendapat individu masing-masing. Subjektivitas tetap berlaku di semua lini kehidupan. Manusia tak ada yang sempurna, begitu pun saya. Jika ada kata-kata yang salah dan menyinggung perasaan, saya dengan tulus mohon maaf dengan kerendahan hati. Sekali lagi, ini hanya sebuah catatan kecil.

Kabid BKM

22 Agustus 2008

Sajak


Wahai
Wahai ku lihat engkau dalam semak belukar
Bercerita tentang malam memabukkan bersama debu jalan
Seakan tersadar dirimu dari mimpi indah
Wahai ku lihat engkau membawa seuntai senandung diatas pasir senja
Tertawa; bernyanyi; lalu membisu bahwa itu hanya semu
Ada hanyalah lampu-lampu gelisah penderitaan
Bukan alunan musik Mozart atau irama padang pasir
Wahai ku lihat engkau dalam genggaman tangan
Tengadah jauh residu udara kota antara batas malam pekat
Menerbangkanmu seperti asap penjarah kota
Wahai….
Wahai…..
Wahai….
Engkau berteriak kesakitan
Tertimbun penat disudut tempat sampah
Hanya berteriak: Wahai …wahai…penguasa…
(dalam rintihan)


Perjalanan Purba

Ia kibaskan sayap pada ranting yang telah lapuk
Begitu purba menyisakan kerinduan yang menyakitkan
Teramat jauh ia berjalan
Hingga lupa bahwa di seberang ada pelabuhan
Ia tak ingat akan beranda atau
Seberkas cahaya dari jendela rumah yang ditinggalkan
Begitu saja semua berlalu
Teramat jauh ia menyusuri jalan tapak demi tapak
Hingga hutanhutan yang tak mengenal wajah manusia
Ia tetap mengibaskan sayap pada ranting yang telah lapuk
Tak perduli akan jejaknya yang tertinggal di halaman rumah

{adh_saraz@yahoo.co.id}

14 Agustus 2008

Terusan


Ketentuan Sayembara Bulan Puisi menyapa Indonesia.

Ø Naskah puisi di print out dan di copy dalam bentuk CD.

Ø Naskah dilampiri formulir pendaftaran (Formulir pendaftaran dapat diperoleh pada Sampul belakang buletin sastra Pawon Edisi Agustus−dapat diperoleh di persewaan buku Eltorros atau agen Pawon lainnya)

Ø Naskah dikirim ke:

· Secara Langsung: Charabook, Jl. Ir. Sutami 25 Solo(perempatan sekarpace)

· Secara Pos : Eltorros, villa bukit cemara no.1 Mojosongo, Solo

Ø Naskah diterima paling lambat tanggal 30 Agustus 2008 (cap pos)

Ø Pengumuman pada tanggal 6 September 08 di Pawonsastra.blogspot.com

Ø Acara launching akan diacarakan tanggal 8 September 2008 di GreenHouse, Sriwedari.

CP: Yunanto: 085293326766, Yudhi: 0271.7016320

10 Agustus 2008

SAYEMBARA PUISI

Bulan Puisi Menyapa Indonesia

Sayembara Menulis Puisi Tingkat Umum

Tema: Indonesia hari lalu, hari ini, hari esok

Hadiah total ratusan ribu rupiah dan puisi-puisi terpilih akan dibukukan pada pawon edisi khusus puisi yang akan diacarakan di GreenHouse akhir Agustus

Info dan formulis pendaftaran dapat dibaca di:

Buletin Pawon edisi #19 yang terbit tanggal 10 Agustus 2008

19 Juni 2008

Buletin WARNA Edisi Perdana


Salam Redaksi

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat-Nya buletin sastra dan budaya “WARNA” dapat kami terbitan. Edisi perdana buletin ini berisikan rubrik sastra dan budaya karya mahasiswa Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah (Bastind). Penerbitan buletin sastra dan budaya ini diharapkan dapat meningkatkan apresiasi dan kreativitas mahasiswa terhadap sastra dan budaya
”Seperti warna dunia, itulah yang kami inginkan. Dengan mengejawantahkan kisah-kisah kehidupan, kita berharap akan menjelma warna yang indah”.
Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung, menyemangati dan membantu kami dalam penyusunan dan penerbitan buletin ini. Saran dan kritik yang membangun selalu kami nantikan.



  • PUISI



HILANG

Sunyi…….
Kenapa tak jua mau pergi…
Telah kuingkari sunyi ini
Dan berharap
Sayaaap waktu kan mendekap
dan membawanya terbang

nyata…..
aku masih merindukan hadirmu
di setiap jengkal mimpi
tlah tertoreh bayangmu

aku merindumu
seperti aku membenci kepergianmu
bila malam hadir
selalu kuharap akan ada bintang
yang akanmembawamu kembali

namun…
angan seperti angin
yang tiada mampu kurangkum
selamanya,
aku akan tatap di sini
untuk semua yang telah kita lewati

by : ragil





AKU DAN BAYANGKU BERSAMA KISAHKU

Namaku adalah seorang gadis
Lahir ke dunia dengan manis tangis
Lahir dengan sedikit kecewa
Ada yang kurang dirasa
Tuhan dosakah bayi aku kurang bersyukur?

Beranjak balita aku tumbuh
Bermain dengan celoteh dan jamah ranah
Tapi yernyata kekurangan itu makin terasa
Tapi apa, ayah, mama tak berkata
Aku dibawanya ke rumah penyembuhan
Ahli penyembuh pun tak bersuara

Masuk usia sekolah, gadis bertanya
Kenapa hanya sebelah mata,
Kenapa berkacamata,
Dan kenapa semua orang bertanya
Tak hanya bertanya bahkan menghina

Memandang segala sesuatu dengan sebelah mata
Ya.. itulah aku
Dari kecil hingga saat ini usiaku
Setumpuk keraguan bergentayanangan
Apa masa depanku hanya sebelah mata
Mungkin….ya
Hal inilah yang membuatku menjauh
Dari hiruk pikuk sesuatu

Tapi aku tak mau hanya ada ratapan
Satu hal yang buat bertahan
Hanya Tuhan

Aku hidup dengan pandangan sebelah mata
Dan selalu memandang sebelah mata
Kadang ku ingin marah pada diriku
Kadang aku tak bersyukur
Kadang aku benci pada ragaku
Tapi buat apa, untuk siapa
Hanya kegelapan yang menyapa

Bagaimana masa depanku
Bagaimana hidupku
Akankah segelap pandanganku
Yang kutakutkan ketika mentari bangun
Kuhanya bisa merasakan hangat

Adakah keajaiban buatku
Adakah kecerahan di mataku
Sebuah pertanyaan
Klise dan tak terjawab


Surakarta 23 april 2008
TB Prihatini



  • CERPEN

A D A T


Matahari hampir membakar tubuhku ketika aku ikut berdesak-desakan di antara pengunjung dan rekan wartawan lain untuk mengambil gambar Gamelan Kyai Guntu Madu ditabuh untuk yang pertama kalinya di perayaan Sekaten tahun ini. Dengan tubuhku yang ramping aku berhasil menerobos di antara lautan manusia itu, ku bidikkan kameraku mengambil setiap sudut gamelan dibangsal selatan ini. Wartawan lain bahkan lebih nekat, menaiki pagar besi yang mengelilingi bangsal tempat gamelan ini berada.
Tampak beberapa wanita mengunyah sirih yang dibelinya di halaman masjid Agung. Janur yang awalnya sebagai pemanis untuk menghiasi bangsal itu pun kini telah ludes diperebutkan orang-orang yang ingin ngalap berkah. Aku berangsur mundur dari tempatku berdiri setelah puas mengabadikan setiap sudut gamelan yang usianya telah melebihi usia nenek buyutku. Aku memilih untuk istirahat di teras masjid.
“Nggak mudik kamu, Tra?” Mas Jarot, salah satu teman seprofesiku menepuk bahuku. Aku hanya tersenyum ringan sambil menggeleng.
“Patra..Patra..mau sampai kapan kamu mau berkelana kayak gini?” Mas Jarot mengacak rambutku gemas. Mas Jarot bahkan rekan wartawan yang telah lama mengenalku memang tahu kalau aku adalah salah satu korban pelarian dari rumah alias minggat.
“Sampai aku puas!”
“Aku tahu kok, Tra. Kita semua juga tahu, kalo kamu kerja kayak gini, dan melakukan ide konyolmu itu hanya untuk melupakan Ridwan kan?”
Sial! Mas Jarot kembali mengingatkanku tentang Ridwan, penipu itu lagi.
“Sory, Tra. Bukannya aku pengen ngungkit-ngungkit tentang Ridwan lagi, tapi sekedar pengen nyadarin kamu aja. Ridwan itu bukan orang yang penting buat dicintai. Kamu seorang Patra! Apa jadinya seorang Patra yang bisa dibilang perempuan istimewa melakukan ini semua hanya untuk seorang ridwan yang tak tau diuntung itu?” Mas Jarot kembali mengulangi kata-kata yang sering diucapkan itu. Mas Jarot memang wartawan yang paling mengerti tentang aku setelah mbak Nuri, rekanku di redaksi.
“Tenang aja lagi, mas. Aku juga udah nggak mikirin dia lagi. Aku ngelakuin profesiku ini juga karena hobiku kok. Bukan karena Ridwan.”aku mencoba menetralisir semua. Aku telah beberapa kali mengatakan ini pada orang yang selalu berkata seperti Mas Jarot, meski berulang kali pula aku merasakan sakit yang masih ada meskipun rasa itu telah ku buang jauh-jauh.
“Syukurlah kalo itu emang jawaban yang berasal dari kejujuran kamu. Tapi kamu nggak bisa hidup terus-terusan kayak gini. Kamu harus pulang ke rumah, Tra. Sampai kapan kamu akan terus-terusan menghindar?” Mas Jarot kembali mengingatkanku pada rumah, pada Ayahku, Ibuku dan adik perempuanku. Aku hanya diam menanggapi ucapan mas Jarot, aku mengambil kameraku lalu mencoba mengalihkan perhatian mas Jarot pada gambar yang kuambil tadi untuk minta pendapatnya.
Aku memang melakukan pekerjaan yang dapat dibilang agak berat untuk seorang perempuan ini, semata-mata hanya untuk melupakan semua hal yang hampir membuatku gila. Beban yang kurasakan sangat menguras pikiran dan tenagaku jika aku hanya berada di rumah. Hingga aku putuskan untuk pergi dari rumah dan kembali ke Surat Kabar yang dulu pernah menampungku bekerja ini.
Ayah murka dengan keputusanku yang sangat dibencinya ini, adat telah mendiktator pikiran-pikiran Ayah untuk menjadikanku sebagai perempuan yang manis, penurut dan memberikan simbol padaku sebagai Konco Wingking pria pilihannya. Bukannya aku ingin mengubah takdir yang telah dicapkan Tuhan padaku, tapi aku tidak ingin dijajah oleh seorang pria, bahkan Ayahku sendiri yang lebih suka menerapkan hal-hal kuno yang didapatkan dari buyutku, diteruskan oleh eyang dan akhirnya mendarah daging ke Ayah itu.
***
“Losari, kamu satu-satunya harapan Ayah. Jangan seperti Patra itu, perempuan kok kerjanya keluyuran kemana-mana. Ayah ndak mau kamu jadi perempuan yang ndak punya tata krama, unggah-ungguh. Tugas kamu sebagai perempuan, ya di rumah. Begitu luwesnya jadi perempuan dan bla..bla..bla..”
Losari, adikku yang sangat disayang Ayah karena sikapnya yang penurut itu hanya menunduk ketika Ayah dengan kuasanya memberikan nasihat-nasihat yang hampir setiap hari didengarnya ketika aku melakukan suatu hal yang dianggap Ayah sebagai suatu kesalahan.
“Ayah sudah ndak tau lagi apa yang harus Ayah perbuat untuk menjadikanmu sebagai perempuan yang mau menjalani kodrat yang harus kamu terima, Tra. Sekarang Ayah juga ndak tau siapa yang salah diantara kita. Tapi Ayah sudah memutuskan, kamu harus mau menikah dengan Pratomo, anaknya Pakde Raharjo yang kemari tempo hari.” Ayah mengatakan hal itu pada siang yang kuanggap tenang karena siang itu Ayah tak mengguruiku seperti biasanya.
Kata-kata ayah yang baru saja aku dengar membuat detak mesin jantungku hampir berhenti. Seperti ada siraman air mendidih di kepalaku. Sel-sel sarafku pun seperti tak beraturan, kebingungan mencari lintasan-lintasannya, saling bertubrukan dan akhirnya melemah, menyerah dan membuatku terduduk lunglai. Hal inilah yang telah lama aku takutkan, adat telah membuat hal yang paling krusial dalam hidupku pun dicampurinya. Tak memandang bahwa hal itu telah memasuki wilayah yang paling menentukan masa depanku. Bukannya aku tak percaya pada pria yang dipilih Ayah. Pratomo adalah seorang pengusaha lulusan salah satu universitas ternama di Indonesia ini. Sikapnya pun hampir mirip dengan Ayah, mengerti unggah-ungguh, bertata krama, dan mencintai adatnya. Dapat dikatakan dia merupakan kandidat dari para orang tua yang ingin mencalonkan dia sebagai menantu idamannya. Dan merupakan hasil fotocopy Ayah, atau mungkin hasil pengklon-an ayah.
“Ayah kemarin bilang, kalau dia mau menjodohkanku dengan Pratomo.” Aku mengucapkan sebaris kalimat itu dengan pandangan kosong pada Ridwan, kekasihku, orang yang kuperhitungkan untuk menolak keinginan Ayah tentang perjodohan itu. Ridwan tampak gusar, dia mengerutkan keningnya, pertanda bahwa dia menginginkan ada kalimat lain yang kuucapkan. Namun aku tak akan menambahi kalimat itu, karena aku yakin Ridwan pasti akan mengetahui pendapatku tentang hal ini.
“Dan hubungan kita?” tak ku sangka nada suara Ridwan menjadi tinggi dengan pernyataanku tadi. Aku menoleh tepat dimatanya. Kulihat kekalutan yang dia rasakan. Tatapannya seperti pisau yang menghunusku, memojokkanku bahwa semua ini kesalahanku.
“Tanpa harus ku jawab pun seharusnya kamu sudah mengerti, Rid. Kamu tau kan kalau aku selalu tidak setuju dengan pendapat Ayah yang terlalu kuno itu?” aku juga mulai emosi. Harapanku untuk mendengar kalimat bijak dari mulut Ridwan kini berubah menjadi ketidakpercayaanku padanya.
“Patra, aku sudah bosan dengan ini semua. Ayahmu selalu ikut campur dalam hubungan kita. Semua ini hanya sebuah kesia-siaan saja. Mau sampai kapan kita akan terus begini. Aku tak dianggap sama sekali oleh Ayahmu.” Ridwan semakin tersulut. Aku terdiam, tak menanggapinya.
“Aku tahu itu sejak dulu, Rid.” Batinku. Aku memang sangat pesimis dengan hubungan ini. Aku tak akan menikah dengan seseorang tanpa restu orang tuaku, tapi aku juga tak ingin menikah dengan orang lain yang tidak aku cintai. Aku mempertahankan hubungan ini karena aku berharap Ridwan akan berjuang denganku untuk meluluhkan hati Ayah yang sekeras karang itu. Ternyata semua harapan itu kini berujung pahit, Ridwan memilih menyerah menghadapi keputusasaanku ini. Dia pergi meninggalkanku di saat aku begitu membutuhkannya.
Dan celakanya, aku begitu menggantungkan harapan-harapanku padanya. Tanpa menoleh sedikitpun pada kenyataan buruk yang bisa saja sewaktu-waktu menghampiriku seperti saat ini. Ridwan yang ku kenal baik, mampu mengerti tentang pikiran-pikiranku yang membenci kediktatoran Ayah, Ridwan yang seringkali mendukungku ketika keputusasaan menghampiriku, kini hanya menjadi Ridwan yang pecundang, yang menyerah begitu saja menghadapi sikap Ayah. Dan akhirnya memilih jalan aman untuk lari dari kehidupanku yang memang terasa begitu kelam ini.
Aku tak memilih keduanya, baik Ridwan maupun pilihan Ayah, aku perlu waktu untuk menata hidupku. Mencari kesenanganku yang dulu sempat terenggut ketika Ayah dengan kekuasaannya menyuruhku untuk tinggal di rumah, belajar menjadi perempuan dari Ibu dan Adikku. Kini aku memilih jalanku sendiri, aku harus pergi dari keterkungkunganku ini. Tanpa Ayah, Ibu, Losari, Pratomo atau Ridwan. Meninggalkan adat yang selalu dijunjung oleh keluargaku. Tak kupedulikan tentang ucapan Ayah yang menuduhku sebagai perusak adat yang telah diwariskan oleh moyangku. Dan aku pun tak pernah bermimpi untuk memiliki sebuah keraton seperti yang telah diciptakan Ayah selama ini. Aku hanya akan mencintai budayaku dengan caraku sendiri, bukan menjadi perempuan yang hidup dalam bangsal yang dikhususkan untukku. Hingga suatu saat ketika ayah dengan kebijaksanaannya membiarkanku memilih adatku sendiri.

Ika Fibri, Maret 2008/21





BUDAYA

Sekaten
Sekaten merupakan sebuah upacara adat yang digelar keraton. Sekaten dilaksanakan selama tujuh hari. Konon, asal-usul upacara ini telah ada sejak massa kerajaan Demak. Upacara ini sebenarnya merupakan sebuah perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad. Kata Sekaten berasal dari kata Syahadatain. Sekaten dimulai dengan keluarnya dua perangkat Gamelan Sekati, Kyai Gunturmadu dan Kyai Guntursari dari keraton untuk ditempatkan di depan Masjid Agung Surakarta. Selama enam hari (mulai hari keenam sampai kesebelas bulan Mulud) kedua perangkat gamelan tersebut dibunyikan (Jw: ditabuh) untuk menandai perayaan sekaten. Akhirnya pada hari ketujuh upacara ditutup dengan keluarnya Gunungan Mulud.
Hasil suntingan dari Wikipedia Indonesia



Tim Redaksi

Pimpinan Redaksi : Susilo Adi Setyawan
Redaktur : Cerpen
- Andi Dwi Handoko
- Nur Salamah
Puisi
- Wahyu Haning L
Budaya
- Puji Rahayu
Layout : Suseno Fitri Handoko
Penerbitan : Winarni
Anggota : Semua warga Bastind.
Alamat Redaksi : Sekretariat Himprobsi
Gedung E lantai 2 FKIP UNS Jl. Ir. Sutami No. 36 A Kentingan Surakarta
Website : bastind.blogspot.com
Saran dan kritik : bastinda@yahoo.co.id (mahasiswa dan umum)



  • Redaksi menerima kiriman cerpen, puisi, essay budaya atau bentuk karya sastra dan budaya lainnya dari mahasiswa Bastind. Karya dapat dikirim (sertakan soft file) ke sekretariat redaksi atau via email dengan alamat : bastinda@yahoo.co.id

03 Juni 2008

INFO SAYEMBARA

SAYEMBARA MENULIS NOVEL DKJ 2008

Deadline: 31 Agustus 2008

Hadiah

Juara I Rp 20.000.000
Juara II Rp 15.000.000
Juara III Rp 12.500.000

Untuk merangsang dan meningkatkan kreativitas pengarang Indonesia dalam penulisan novel, Dewan Kesenian Jakarta kembali menyelenggarakan Sayembara Menulis Novel. Lewat sayembara ini, DKJ berharap akan lahir novel-novel terbaik, baik dari pengarang Indonesia yang sudah punya nama maupun pemula, yang memperlihatkan kebaruan dalam bentuk dan isi.

Ketentuan Umum

  • Peserta adalah warga negara Indonesia (dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk atau bukti identitas lainnya).
  • Peserta boleh mengirimkan lebih dari satu naskah.
  • Naskah belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apa pun, baik sebagian maupun seluruhnya.
  • Naskah tidak sedang diikutkan dalam sayembara serupa
  • Naskah dan judul ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik
  • Tema bebas

Ketentuan Khusus

  • Panjang naskah minimal 100 halaman A4, 1,5 spasi, Times New Roman 12
  • Peserta menyertakan biodata dan alamat lengkap dalam lembar tersendiri, di luar naskah
  • Lima salinan naskah yang diketik dan dijilid dikirim ke:
    Panitia Sayembara Menulis Novel DKJ 2008
    Dewan Kesenian Jakarta
    Jl. Cikini Raya 73
    Jakarta 10330
    Telp. 021-3193 7639 / 316 2780
  • Batas akhir pengiriman naskah: 31 Agustus 2008 (cap pos atau diantar langsung)

Lain-lain

  • Para Pemenang akan diumumkan dalam Malam Anugerah Sayembara Menulis Novel DKJ 2008 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada akhir Desember 2008
  • Hak Cipta dan hak penerbitan naskah peserta sepenuhnya berada pada penulis
  • Keputusan Dewan Juri tidak dapat diganggu gugat dan tidak diadakan surat-menyurat
  • Pajak ditanggung pemenang
  • Sayembara ini tertutup bagi anggota Dewan Kesenian Jakarta Periode 2006-—2009

sumber: http://lomba.duniaanda.com/sayembara-menulis-novel-dewan-kesenian-jakarta-2008.html

Yuk temen-temen nulis............................OK.

Bagi yang sudah punya karya berupa novel yang belum terbit, segera kirim ajah......!

Kreativitasmu adalah kebanggaanmu.....!

==========================================================

Lomba Resensi Buku

Jangan cuman jadi pembaca pasif! Kritisi yuk, buku-buku yang kamu baca. Nah,dalam rangka Milad Pertama, Penerbit Indiva Media Kreasi menggelar acara yang spektakuler banget: LOMBA RESENSI BUKU INDIVA 2008. Caranya, guampang bangets…

Kamu pilih satu dari buku-buku ini:
a. De Winst (Afifah Afra)
c. Pilkadal di Negeri Dongeng (Tundjungsari)
d. Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf (15 Penulis FLP Jawa Tengah)
e. and The Star is Me (Afifah Afra)
f. Best Seller Sejak Cetakan Pertama (Agus M. Irkham)
g. Jangan Jadi Perempuan Cengeng (Pipiet Senja dkk.)
h. Agar Ngampus Nggak Hanya Status (Rabiah Al Adawiyah)
i. Road to Happines (Asa Mulchias)

Bikin resensinya, boleh ketik komputer, boleh tulis tangan (tapi jangan kayak tulisan resep dokter getoo…), maksimal 5 halaman kuarto, spasi 1,5 font 12.

Kirim atau antar langsung ke alamat ini.
Kantor Indiva Media Kreasi: Jl. Anggur VII No. 36 C Jajar, Laweyan, Surakarta
Atau TBD (Toko Buku Diskon) Indiva, Jl. Ahmad Yani, Pabelan, Kartasura (Ruko
depan lampu merah/ gerbang kampus UMS)

Jangan lupa cantumin alamat, biodata singkat, fotokopi identitas yang masih
berlaku dan struk (nota) pembelian buku tersebut.

Resensi ditunggu sampai tanggal 30 September 2008 (cap pos)! Pemenang akan
diumumkan di website www.indivamediakreasi.com, diiklankan di Majalah Annida
edisi November 2008 dan di Indiva Magazine.

Disediakan hadiah yang lumayan banget buat ngisi tabungan:
Juara I: Rp 750.000
juara II: Rp 600.000
Juara III: Rp 450.000
3 Juara Harapan: @ Rp 250.000

sumber: http://www.penulislepas.com