04 Februari 2009

Resensi Cerpen

Refleksi Nyata Sebuah Kesepian
Oleh: Xoxo
Cerpen karya Liana Yusoli Ibadiyah ini mempunyai judul yang menarik yakni Kidung Kebekuan. Kidung bisa diartikan lagu atau nyanyian, sedangkan kebekuan merupakan metafora dari rasa dingin, sunyi, sepi. Itulah kira-kira yang dapat saya interprestasikan dari judul tersebut. Kesan pertama yang muncul dari cerpen ini memang berangkat dari judulnya. Kidung kebekuan dapat saya interprestasikan sebagai kisah yang diselimuti kesepian.
Cerpen merupakan sebuah bentuk yang utuh yang didukung unsur-unsur di dalamnya. Salah satunya adalah unsur imajinatif. Kidung kebekuan merupakan cerita realis imajinatif yang berangkat dari sebuah kisah nyata (tertulis pada keterangan judul pada cerpen tersebut) dari seorang sahabat pengarang. Walau cerpen ini merupakan refleksi dari sebuah kisah nyata, namun bukan berarti cerpen ini tak imajinatif. Sebuah kisah nyata yang sudah direfleksikan menjadi sebuah cerpen, dapat berdiri menjadi sebuah dunia yang utuh bagi siapapun yang membacanya. Jadi cerita ini dapat dipandang sebuah cerita yang imaginasi, terlepas dari sebuah kisah nyata dari pengarang.
Cerita dibuka dengan pendeskripsian alam oleh tokoh aku. Sepertinya pengarang ingin membawa pembaca ke dalam sebuah ruang imaginasi yang mendeskripsikan alam sebagai latarnya. Back to nature, seolah-olah alam menjadi objek yang dapat menarik imaginasi untuk membuka sebuah cerita. Objek-objek pada alam dituangkan dalam sebuah teks yang disusun sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan imaginasi yang kuat. Setelah itu pengarang membawa sebuah rasa pada diri tokoh aku yang diselimuti rasa dingin dan sepi yang merupakan ejawantah dari kebekuan rasa.
Setelah dibuka dengan deskripsi ruang imajinasi, pengarang membuat sebuah latar dengan daerah Purwodadi. Latar belakang pengarang menggunakan daerah Purwodadi karena pengarang sendiri berasal dari daerah itu. Selain itu, cerita ini di dasarkan pada kisah nyata, sehingga mungkin pengarang ingin mengesankan bahwa cerita ini memang benar-benar terjadi seperti apa yang dialami oleh sahabatnya di daerah Purwodadi.
Cerpen ini menceritakan tentang kemelut batin yang dialami tokoh aku. Pergulatan atau konflik batin dalam cerpen ini memang sangat kental. Konflik batin pertama dirasakan oleh tokoh aku yang digunjingkan sebagai pembuat aib keluarga atau anak yang tak jelas asalnya karena tak punya seorang bapak. Orang-orang pun meragukan tokoh aku yang memakai jilbab. Kemudian cerita beralih pada kehidupan tokoh ibu yang sedang terserang suatu penyakit. Tokoh aku selalu bertanya tentang siapa sebenarnya bapaknya, namun ibunya tetap tidak mau menyebutnya. Mungkin saja pertanyaan-pertanyaan dari tokoh aku kepada ibunya itu yang semakin membuat parah penyakit ibunya.
Akhirnya penyakit ibunya semakin parah dan harus masuk rumah sakit. Dokter memvonis bahwa ibunya terkena kanker ganas. Dan saat ibunya telah kritis, terjadi sebuah cerita yang menegangkan yakni pengakuan pamannya bahwa dia adalah ayah tokoh aku., Mendengar pengakuan itu, semua orang yang sedang berada di sana seperti terkena cambuk yang keras. Kemudian cerita disusul kematian ibunya yang mendadak. Setelah itu tokoh aku ikut bersama pamannya yang tak lain adalah ayah kandungnya. Kebencian dalam diri tokoh aku pada ayah kandungnya belum sirna, sehingga ia belum begitu akrab dengan ayah kandungnya itu. Sehingga waktu mengubah perasaan tokoh aku untuk mengubah perasaannya untuk lebih menyayangi dan mempercayai ayahnya. Akhirnya muncullah perasaan sayang dan percaya pada diri tokoh aku pada ayahnya, namun setelah itu ia mendapat kabar bahwa ayahnya tewas karena kecelakaan. Ia pasrah kepada Tuhan atas semua yang telah terjadi pada dirinya. Pada akhir cerita tokoh aku kembali merasakan sebuah kesepian, lebih tepatnya kebekuan.
Narasi pada cerpen ini memang cukup membuat pembaca mengikuti alur demi alur dengan konflik yang ada. Gaya bahasa cukup sederhana sehingga langsung dapat dicerna dan nikmati. Cerpen ini termasuk pada gaya realis yang menceritakan tentang kehidupan sebenarnya dan dibalut dengan gaya imajinatif. Pembuka cerpen ini membuat sebuah ketertarikan dengan gaya penceritaan yang halus. Narasi pada tengah-tengah cerita menghadapkan kita pada fenomena yang pada umumnya dialami masyarakat. Sebuah konflik pada sebuah hubungan keluarga yang terlampau dekat. Perefleksian masalah ini adalah sebuh nilai plus bagi pengarang. Refleksi dari sebuah realitas sosial yang dituangkan dengan alunan teks-teks yang bersatu padu. Percakapan yang mendominasi cerita ini memperlihatkan sebuah daya interprestasi nyata yang tak selamanya berbentuk jalinan naratif simbolik. Pengarang juga bisa katakana berani karena menutup cerpen dengan ending terbuka. Dengan trik semacam ini, pembaca dapat menyimpulkan sendiri atas apa yang akan dialami tokoh aku setelah itu. Lebih hebatnya lagi, pengarang tidak terjebak pada pengggunaan ending pada kematian ayah dari tokoh aku.
Pada keseluruhan cerita, pengarang terjebak pada gaya bahasa. Ini mungkin juga banyak dialami bagi penulis cerita pendek lainnya yakni penggunaan gaya bahasa tidak ritmis. Membaca awal cerita kita dihadapkan pada gaya bahasa yang imajinatif namun setelah ke tengah kita dihadapkan pada cerita yang naratif. Isi dari cerita pun dibuat tergesa-gesa oleh pengarang dan terlalu banyak konflik. Kesan pertama dari saya, pengarang ingin mengetengahkan konflik batin, namun setelah dibaca keseluruhan ternyata tidak. Pengarang terjebak pada kenaratifan ceritanya sehingga isi cerita cenderung berjalan apa adanya dan kurang pemodifikasian kata. Namun pada akhirnya pengarang kembali lagi seperti awal. Pada penutup cerpen itu ia membawa gaya bahasanya seperti di awal. Dapat saya simpulkan ini adalah cerita yang stagnant atau terdapat kemandegan di awal dan di akhir cerita. Hanya tengahnya yang mengalami sebuah perubahan dan warna.
Keseluruhan cerita ini sudah cukup menarik. namun ada hal-hal yang kiranya dapat saya catat untuk sekiranya dapat membuat cerita dalam cerpen ini lebih menarik. Pertama adalah mengurangi percakapan yang tidak perlu. Semakin banyak percaapan yang tidak perlu maka cerpen ini bentuknya akan semakin longgar. Kedua, yakni mengurangi gaya bercerita yang terlalu naratif dan detail sehingga kurang dapat menimbulkan daya imaginasi. Ketiga, membuat adegan cerita melalui teks tidak usah terlalu tergesa-gesa sehingga pencapaian estetisnya kurang. Dan terakhir adalah konflik yang dihadirkan tidak usah terlalu banyak, karena pada hakikatnya cerpen adalah cerita yang singkat dan padat.
Cerpen ini dapat dikatakan sebagai mediasi bagi pengarang untuk berbagi cerita yang diperolehnya. Isi cerpen banyak diselimuti tentang kesedihan. Sudah pas sekali jika judul cerpen ini adalah Kidung Kebekuan. Dan keseluruhan isi cerpen ini baik menyangkut tema, isi cerita dan amanat merupakan sebuah refleksi dari realitas sosial yang sering dijumpai dalam masyarakat sehingga membuat siapa saja yang membacanya akan lebih peka terhadap realitas kehidupan.

Tidak ada komentar: