16 September 2008

Cerpen


Sekelumit Nyanyian Surga
Oleh : Andi D Handoko

Kau akan tampak lebih cantik jika tak ada garis hitam yang melingkari indah matamu. Perpaduan yang sangat memesona hati jika kau tersenyum kecil tanpa garis hitam tersebut. Sekarang, aku menatap wajahmu yang kelam. Seperti barisan semut dalam tembok yang kusam, jari-jarimu bergerak kecil membentuk untaian tarian magis. Tarian iblis yang pernah ku lihat di mimpi-mimpi malam dan penuh karat menghitam.
Kau hanya diam memaku tanpa tatap. Matamu terpejam seolah-olah kau sedang mengalami mimpi paling sempurna selama kau terlelap di dunia ini. Kulitmu terlihat pucat membeku, tertusuk jarum infus yang selalu memberimu makan agar otot-ototmu kuat untuk menahan roh di dalam tubuhmu. Secercah warna cahaya pagi pun tak membangunkanmu dari tidur yang begitu lelap.
Secangkir kopi pahit selalu ku hidangkan di sisimu. Agar kau menghirup betapa wanginya kopi itu. Dan bangun untuk menikmatinya bersama kicauan burung yang setia menemani pagi bisu. Kopi dengan sedikit gula. Kopi kesukaanmu.
”Aku hanya minum kopi pahit di pagi hari. Tak boleh ada kafein yang masuk dalam tubuhku jika hari sudah beranjak malam. Aku akan sulit tidur” katamu menolak halus tawaranku untuk minum kopi di sebuah angkringan ujung jalan Malaiboro malam itu. Namun pagi ini, kau tak tergugah untuk segera menikmati kopi yang khusus ku siapkan untukmu. Mungkin pikiranku hanya bisa mengira-ngira jika kau sudah bosan untuk menikmati kopi pahit di pagi hari. Dan aku hanya menunggu malam berharap kebiasaanmu menjadi berubah, yakni menikmati kopi pahit di malam hari. Kenyataannya ketika malam tiba, kau masih membeku bersama kopi pahit yang telah dingin di sampingmu.
Dahan-dahan kering telah menjadi lapuk. Keropos akhirnya jatuh terjerembab bersentuhan dengan tanah yang siap menguraikan semua partikel dahan tersebut. Seperti itulah mungkin yang akan terjadi pada tubuhmu yang putih dan sintal itu. Pikiranku terlalu jauh membayangkanmu mendiamkan waktu. Terlalu lama otakku keruh karena tak ada lagi sambutan senyum manismu di setiap hariku.
Semua ini salahku. Penyesalan memang selalu menghantui ketika semua cerita telah terjalani. Jika aku dapat kembali ke masa lalu, maka aku akan melakukan hal yang terbaik dalam hidupmu. Teringat dulu ketika aku mengenalkanmu pada suatu benda jelmaan sesosok iblis kejam. Kemudian ingatanku melayang ke sebuah peristiwa yang melukiskan pertemuan kita pertama kali di sebuah angkringan di ujung jalan Malaiboro, Yogyakarta.
***
Jalanan di sekitar Malaiboro melenggang sepi. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Hujan rintik-rintik mungkin adalah penyebab utama sepinya malam itu. Hanya ada aku dan kau yang berkunjung ke angkringan tersebut. Tatapmu menyiratkan sebuah kesedihan yang mendalam. Namun wajahmu mengatakan sebuah ketegaran yang mampu menutupi semua kesedihan yang kau rasakan. Dalam sebuah jerat kebisuan, aku mencoba memulai percakapan.
”Gilang” aku memperkenalkan diri dan menjulurkan tanganku untuk menjabatmu. Kau tampak tersenyum kecil yang dipaksa. Harapanku untuk menjabat tanganmu sepertinya tak mendapat respon yang baik. Kau hanya mengaduk-aduk segelas teh dihadapanmu dengan sendok kecil di sela-sela genggaman jarimu yang lentik. Ku tahan malu pada penjaga angkringan yang tersenyum simpul. Tanpa membuang waktu yang ada, aku langsung menyeruput kopi panas tanpa gula. Mencoba menenangkan rasa malu dengan berpikir tak ada kejadian di angkringan itu.
Tak terduga kau mengomentari bagaimana aku meminum kopi itu. ”Lidahmu akan mengelupas jika minum kopi panas seperti itu!”. Kau memandangku. Tampak sekali getaran kesedihan yang tersirat di setiap kata yang kau ucapkan itu. Aku hanya diam. Tak berlangsung lama kau berkata lagi, ”Pacarku dulu mengajariku cara minum kopi panas. Tuangkan sedikit kopi panas itu ke alas cangkir kemudian seruputlah, lebih aman bagi lidahmu yang ranum itu. Begitu katanya yang halus mengajariku”. Kemudian sejurus aku melihat air mata yang mengaliri kulit pipimu yang terlihat begitu halus.
Aku menjadi serba salah dan hanya terdiam di sampingmu sambil sesekali memainkan sendok di dalam cangkir kopiku. Seolah waktu berjalan melambat dan kau menyebut namamu dengan jelas. Masih terngiang begitu lembut kau mengucapkan namamu sendiri. Rasti. Lengkapnya Saraswati.
Entah karena suasana mendukung atau memang sengaja takdir mempertemukan kita. Kau dan aku begitu cepat akrab. Setelah menghabiskan segelas kopi dan segelas teh di angkringan itu, kita berjalan menembus jalan Malioboro ditemani malam pekat dengan sentuhan kabut sehabis gerimis. Di sebuah tempat duduk desain taman terbuka di sekitar beteng Vredeburg kau menceritakan semua kisah kesedihan yang kau alami. Aku hanya manggut-manggut mengerti akan kesedihanmu. Cinta katamu. Putus cinta yang sangat menyakitkan.
Ibarat memancing di air keruh. Iblis-iblis dalam benakku membisikkan sesuatu padaku. Mereka menari-nari di setiap rajutan urat sarafku. Akhirnya aku memberimu saran agar kesedihanmu itu lenyap dalam waktu yang sekejap. Kau memandangku tajam penuh rasa penasaran. Aku agak gugup dan menengok kanan kiri kemudian mengeluarkan sesuatu dari celana panjangku. Sebungkus plastik dengan isi beberapa pil iblis.
Ku lihat tatap matamu penuh rasa heran. Kau menggeleng tanda tak setuju. Aku segera meraih tanganmu meyakinkan dengan rayuan iblis yang begitu lembut hingga kau luruh. Kau menurut seperti boneka mainan bocah. Kau mengajakku ke sebuah kontrakan di komplek kampus UGM. Kau menukar isi dompetmu dengan beberapa pil iblis itu. Aku sebenarnya tak bermaksud untuk merusak hidupmu. Aku hanya berusaha untuk mempertahankan status mahasiswaku. Aku tak mau terkena drop out hanya karena tak ada biaya untuk melunasi tanggungan tiap semester. Aku merasa kasihan terhadapmu. Namun tak ada pilihan lain, hanya dari dirimu salah satu harapan untuk itu.
Kau tampak begitu menikmati malam itu dengan sebutir pil iblis yang kejam menyayat urat sarafmu. Kau mengajakku untuk menikmati alam mayamu. Kau meracau tak karuan. Katamu kau sedang bernyanyi nyanyian surga bersama malaikat-malaikat kecil. Aku hanya tersenyum geli mendengar ocehanmu. Tak ku kira kau begitu berani menelan pil itu. Sejenak aku tertarik dengan ajakanmu. Namun akal sehatku masih bekerja dengan baik. Aku tak mau menelan pil iblis tersebut.
Dan tidak hanya malam itu saja kau menghabiskan waktu-waktumu untuk bersenandung mesra di antara ribuan mimpi semu. Setiap waktu kau selalu mencariku untuk menebus pil demi pil hingga kau adalah pintu utama untuk meneruskan pendidikanku. Begitulah seterusnya hingga kau selalu dekat denganku. Sedekat hatimu dengan hatiku.
Kisah itu terus berlanjut. Tak ku sangka perasaan itu muncul. Perasaan yang selalu menginginkan kebersamaan antara aku dan kau. Seperti ranting dengan daun, ku ingin kita sedekat itu. Namun batinku selalu menangis, ternyata kau lebih dekat dengan pil iblis tersebut. Semua memang salahku dan kau selalu mencariku. Bukan mencari hatiku, namun mencari apa yang aku bawa. Yah pil iblis itu. Selalu dan selalu, hingga aku merasa begitu kasihan padamu.
Setiap datang padaku, kau merengek seperti bayi yang telah lama kehilangan susu dari tetek ibunya. Kau selalu meminta pil tersebut. Tak kuasa hati dan dengan tangan berat aku memberikannya kepadamu. Mungkin aku terlalu sayang padamu hingga aku tak bisa melihatmu begitu menderita tanpa mengkonsumsi pil tersebut. Sejenak ku tatap matamu, tak ada tatapan mata yang anggun. Hanya bayangan tarian iblis yang tergambar dalam lensa matamu. Rasti yang dulu telah hilang, namun hatiku selalu berkata bahwa itu adalah kau.
Dan di malam itu. Aku heran kau sudah lama tidak mencariku. Terasa aneh, karena iblis-iblis dalam tubuhmu pasti akan kelaparan jika tidak kau beri pil itu. Jika dulu kau mencariku, malam itu aku mencarimu. Aku datang ke kontrakanmu, namun setengah badanku kaku melihat keadaanmu. Badanmu tengkurap di lantai kamarmu dengan busa putih keluar dari mulutmu yang begitu ranum. Di sekitarmu terdapat banyak pil dan beberapa jarum suntik. Entah dari mana kau dapatkan semua itu. Aku tidak percaya langkahmu terlalu jauh dengan barang-barang seperti itu.
Hingga kini kau masih terbaring tanpa daya di atas pembaringan. Sejenak ku pandang lekat wajahmu. Dalam lelapmu kau tersenyum kecil, seakan-akan kau sedang menikmati alam yang teduh dan damai. Setelah hampir setengah purnama kau terbaring, baru kali ini ku lihat engkau tersenyum. Kau pun kemudian tersadar. Begitu sempurnanya perasaanku kau bisa kembali melihat dunia dengan tatapan indah. Dan setelah urat-urat tubuhmu mengumpulkan daya, kau bercerita tentang apa yang tidak aku ketahui. Suaramu terdengar parau terbata-bata, seolah kau baru saja belajar bicara.
”Gilang, aku baru saja menyinggahi suatu tempat yang begitu indah. Tampak kolam-kolam dengan air jernih dan taman-taman yang terawat rapi. Belum pernah aku menjumpai tempat seindah itu. Lalu aku mendengar nyanyian yang begitu merdu. Merdu sekali hingga hatiku bergetar lembut ketika mendengarnya. Aku pun bertanya pada seseorang yang melintas di tempat itu ’nyanyian apakah itu?’ Dia mengatakan bahwa itu adalah nyanyian surga. Aku ingin kembali ke sana Gilang!”
Aku pun hanya mengangguk tanda setuju dengan apa yang telah kau lihat. Padahal selama ini kau hanya terbaring lemah. Kau menceritakan pada semua orang tentang apa yang telah kau lihat. Hatiku pun bergetar mendengar ceritamu. Terasa begitu aneh. Dan yang tak kalah membuatku kaget adalah ketika kau melakukan tayamum dan beribadah di atas pembaringan itu. Tak pernah ku lihat kau salat dan berdoa sekhusuk itu. Bahkan sebelumnya belum pernah sekalipun aku melihatmu salat.
Aku tertegun melihat perubahan yang begitu drastis pada dirimu. Terus terang aku takut jika harus kehilanganmu. Aku pun sadar untuk memberi ketenangan di dalam ruang itu. Aku keluar dari bilik tersebut. Namun aku kembali dikagetkan dengan raut wajah orang tuamu di luar. Ibumu menangis tertahan. Ayahmu menatapku dengan tatapan mata kosong yang menyiratkan aura kesedihan. Belum sempat aku bertanya apa yang terjadi. Ayahmu memberi selembar kertas. Segera ku buka dan membaca apa isinya. Seperti meledak isi kepalaku. Kertas itu adalah hasil uji laboratorium.
Aku menahan tangis dan berteriak lirih ”Bangsat kau virus iblis”. Setelah itu kepalaku pening dan ku lihat dalam bayanganku, kau jauh terdengar samar menyanyi lagu yang begitu merdu. Entah lagu apa? Mungkin saja nyanyian surga.

Tidak ada komentar: