19 Juni 2008

Buletin WARNA Edisi Perdana


Salam Redaksi

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat-Nya buletin sastra dan budaya “WARNA” dapat kami terbitan. Edisi perdana buletin ini berisikan rubrik sastra dan budaya karya mahasiswa Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah (Bastind). Penerbitan buletin sastra dan budaya ini diharapkan dapat meningkatkan apresiasi dan kreativitas mahasiswa terhadap sastra dan budaya
”Seperti warna dunia, itulah yang kami inginkan. Dengan mengejawantahkan kisah-kisah kehidupan, kita berharap akan menjelma warna yang indah”.
Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung, menyemangati dan membantu kami dalam penyusunan dan penerbitan buletin ini. Saran dan kritik yang membangun selalu kami nantikan.



  • PUISI



HILANG

Sunyi…….
Kenapa tak jua mau pergi…
Telah kuingkari sunyi ini
Dan berharap
Sayaaap waktu kan mendekap
dan membawanya terbang

nyata…..
aku masih merindukan hadirmu
di setiap jengkal mimpi
tlah tertoreh bayangmu

aku merindumu
seperti aku membenci kepergianmu
bila malam hadir
selalu kuharap akan ada bintang
yang akanmembawamu kembali

namun…
angan seperti angin
yang tiada mampu kurangkum
selamanya,
aku akan tatap di sini
untuk semua yang telah kita lewati

by : ragil





AKU DAN BAYANGKU BERSAMA KISAHKU

Namaku adalah seorang gadis
Lahir ke dunia dengan manis tangis
Lahir dengan sedikit kecewa
Ada yang kurang dirasa
Tuhan dosakah bayi aku kurang bersyukur?

Beranjak balita aku tumbuh
Bermain dengan celoteh dan jamah ranah
Tapi yernyata kekurangan itu makin terasa
Tapi apa, ayah, mama tak berkata
Aku dibawanya ke rumah penyembuhan
Ahli penyembuh pun tak bersuara

Masuk usia sekolah, gadis bertanya
Kenapa hanya sebelah mata,
Kenapa berkacamata,
Dan kenapa semua orang bertanya
Tak hanya bertanya bahkan menghina

Memandang segala sesuatu dengan sebelah mata
Ya.. itulah aku
Dari kecil hingga saat ini usiaku
Setumpuk keraguan bergentayanangan
Apa masa depanku hanya sebelah mata
Mungkin….ya
Hal inilah yang membuatku menjauh
Dari hiruk pikuk sesuatu

Tapi aku tak mau hanya ada ratapan
Satu hal yang buat bertahan
Hanya Tuhan

Aku hidup dengan pandangan sebelah mata
Dan selalu memandang sebelah mata
Kadang ku ingin marah pada diriku
Kadang aku tak bersyukur
Kadang aku benci pada ragaku
Tapi buat apa, untuk siapa
Hanya kegelapan yang menyapa

Bagaimana masa depanku
Bagaimana hidupku
Akankah segelap pandanganku
Yang kutakutkan ketika mentari bangun
Kuhanya bisa merasakan hangat

Adakah keajaiban buatku
Adakah kecerahan di mataku
Sebuah pertanyaan
Klise dan tak terjawab


Surakarta 23 april 2008
TB Prihatini



  • CERPEN

A D A T


Matahari hampir membakar tubuhku ketika aku ikut berdesak-desakan di antara pengunjung dan rekan wartawan lain untuk mengambil gambar Gamelan Kyai Guntu Madu ditabuh untuk yang pertama kalinya di perayaan Sekaten tahun ini. Dengan tubuhku yang ramping aku berhasil menerobos di antara lautan manusia itu, ku bidikkan kameraku mengambil setiap sudut gamelan dibangsal selatan ini. Wartawan lain bahkan lebih nekat, menaiki pagar besi yang mengelilingi bangsal tempat gamelan ini berada.
Tampak beberapa wanita mengunyah sirih yang dibelinya di halaman masjid Agung. Janur yang awalnya sebagai pemanis untuk menghiasi bangsal itu pun kini telah ludes diperebutkan orang-orang yang ingin ngalap berkah. Aku berangsur mundur dari tempatku berdiri setelah puas mengabadikan setiap sudut gamelan yang usianya telah melebihi usia nenek buyutku. Aku memilih untuk istirahat di teras masjid.
“Nggak mudik kamu, Tra?” Mas Jarot, salah satu teman seprofesiku menepuk bahuku. Aku hanya tersenyum ringan sambil menggeleng.
“Patra..Patra..mau sampai kapan kamu mau berkelana kayak gini?” Mas Jarot mengacak rambutku gemas. Mas Jarot bahkan rekan wartawan yang telah lama mengenalku memang tahu kalau aku adalah salah satu korban pelarian dari rumah alias minggat.
“Sampai aku puas!”
“Aku tahu kok, Tra. Kita semua juga tahu, kalo kamu kerja kayak gini, dan melakukan ide konyolmu itu hanya untuk melupakan Ridwan kan?”
Sial! Mas Jarot kembali mengingatkanku tentang Ridwan, penipu itu lagi.
“Sory, Tra. Bukannya aku pengen ngungkit-ngungkit tentang Ridwan lagi, tapi sekedar pengen nyadarin kamu aja. Ridwan itu bukan orang yang penting buat dicintai. Kamu seorang Patra! Apa jadinya seorang Patra yang bisa dibilang perempuan istimewa melakukan ini semua hanya untuk seorang ridwan yang tak tau diuntung itu?” Mas Jarot kembali mengulangi kata-kata yang sering diucapkan itu. Mas Jarot memang wartawan yang paling mengerti tentang aku setelah mbak Nuri, rekanku di redaksi.
“Tenang aja lagi, mas. Aku juga udah nggak mikirin dia lagi. Aku ngelakuin profesiku ini juga karena hobiku kok. Bukan karena Ridwan.”aku mencoba menetralisir semua. Aku telah beberapa kali mengatakan ini pada orang yang selalu berkata seperti Mas Jarot, meski berulang kali pula aku merasakan sakit yang masih ada meskipun rasa itu telah ku buang jauh-jauh.
“Syukurlah kalo itu emang jawaban yang berasal dari kejujuran kamu. Tapi kamu nggak bisa hidup terus-terusan kayak gini. Kamu harus pulang ke rumah, Tra. Sampai kapan kamu akan terus-terusan menghindar?” Mas Jarot kembali mengingatkanku pada rumah, pada Ayahku, Ibuku dan adik perempuanku. Aku hanya diam menanggapi ucapan mas Jarot, aku mengambil kameraku lalu mencoba mengalihkan perhatian mas Jarot pada gambar yang kuambil tadi untuk minta pendapatnya.
Aku memang melakukan pekerjaan yang dapat dibilang agak berat untuk seorang perempuan ini, semata-mata hanya untuk melupakan semua hal yang hampir membuatku gila. Beban yang kurasakan sangat menguras pikiran dan tenagaku jika aku hanya berada di rumah. Hingga aku putuskan untuk pergi dari rumah dan kembali ke Surat Kabar yang dulu pernah menampungku bekerja ini.
Ayah murka dengan keputusanku yang sangat dibencinya ini, adat telah mendiktator pikiran-pikiran Ayah untuk menjadikanku sebagai perempuan yang manis, penurut dan memberikan simbol padaku sebagai Konco Wingking pria pilihannya. Bukannya aku ingin mengubah takdir yang telah dicapkan Tuhan padaku, tapi aku tidak ingin dijajah oleh seorang pria, bahkan Ayahku sendiri yang lebih suka menerapkan hal-hal kuno yang didapatkan dari buyutku, diteruskan oleh eyang dan akhirnya mendarah daging ke Ayah itu.
***
“Losari, kamu satu-satunya harapan Ayah. Jangan seperti Patra itu, perempuan kok kerjanya keluyuran kemana-mana. Ayah ndak mau kamu jadi perempuan yang ndak punya tata krama, unggah-ungguh. Tugas kamu sebagai perempuan, ya di rumah. Begitu luwesnya jadi perempuan dan bla..bla..bla..”
Losari, adikku yang sangat disayang Ayah karena sikapnya yang penurut itu hanya menunduk ketika Ayah dengan kuasanya memberikan nasihat-nasihat yang hampir setiap hari didengarnya ketika aku melakukan suatu hal yang dianggap Ayah sebagai suatu kesalahan.
“Ayah sudah ndak tau lagi apa yang harus Ayah perbuat untuk menjadikanmu sebagai perempuan yang mau menjalani kodrat yang harus kamu terima, Tra. Sekarang Ayah juga ndak tau siapa yang salah diantara kita. Tapi Ayah sudah memutuskan, kamu harus mau menikah dengan Pratomo, anaknya Pakde Raharjo yang kemari tempo hari.” Ayah mengatakan hal itu pada siang yang kuanggap tenang karena siang itu Ayah tak mengguruiku seperti biasanya.
Kata-kata ayah yang baru saja aku dengar membuat detak mesin jantungku hampir berhenti. Seperti ada siraman air mendidih di kepalaku. Sel-sel sarafku pun seperti tak beraturan, kebingungan mencari lintasan-lintasannya, saling bertubrukan dan akhirnya melemah, menyerah dan membuatku terduduk lunglai. Hal inilah yang telah lama aku takutkan, adat telah membuat hal yang paling krusial dalam hidupku pun dicampurinya. Tak memandang bahwa hal itu telah memasuki wilayah yang paling menentukan masa depanku. Bukannya aku tak percaya pada pria yang dipilih Ayah. Pratomo adalah seorang pengusaha lulusan salah satu universitas ternama di Indonesia ini. Sikapnya pun hampir mirip dengan Ayah, mengerti unggah-ungguh, bertata krama, dan mencintai adatnya. Dapat dikatakan dia merupakan kandidat dari para orang tua yang ingin mencalonkan dia sebagai menantu idamannya. Dan merupakan hasil fotocopy Ayah, atau mungkin hasil pengklon-an ayah.
“Ayah kemarin bilang, kalau dia mau menjodohkanku dengan Pratomo.” Aku mengucapkan sebaris kalimat itu dengan pandangan kosong pada Ridwan, kekasihku, orang yang kuperhitungkan untuk menolak keinginan Ayah tentang perjodohan itu. Ridwan tampak gusar, dia mengerutkan keningnya, pertanda bahwa dia menginginkan ada kalimat lain yang kuucapkan. Namun aku tak akan menambahi kalimat itu, karena aku yakin Ridwan pasti akan mengetahui pendapatku tentang hal ini.
“Dan hubungan kita?” tak ku sangka nada suara Ridwan menjadi tinggi dengan pernyataanku tadi. Aku menoleh tepat dimatanya. Kulihat kekalutan yang dia rasakan. Tatapannya seperti pisau yang menghunusku, memojokkanku bahwa semua ini kesalahanku.
“Tanpa harus ku jawab pun seharusnya kamu sudah mengerti, Rid. Kamu tau kan kalau aku selalu tidak setuju dengan pendapat Ayah yang terlalu kuno itu?” aku juga mulai emosi. Harapanku untuk mendengar kalimat bijak dari mulut Ridwan kini berubah menjadi ketidakpercayaanku padanya.
“Patra, aku sudah bosan dengan ini semua. Ayahmu selalu ikut campur dalam hubungan kita. Semua ini hanya sebuah kesia-siaan saja. Mau sampai kapan kita akan terus begini. Aku tak dianggap sama sekali oleh Ayahmu.” Ridwan semakin tersulut. Aku terdiam, tak menanggapinya.
“Aku tahu itu sejak dulu, Rid.” Batinku. Aku memang sangat pesimis dengan hubungan ini. Aku tak akan menikah dengan seseorang tanpa restu orang tuaku, tapi aku juga tak ingin menikah dengan orang lain yang tidak aku cintai. Aku mempertahankan hubungan ini karena aku berharap Ridwan akan berjuang denganku untuk meluluhkan hati Ayah yang sekeras karang itu. Ternyata semua harapan itu kini berujung pahit, Ridwan memilih menyerah menghadapi keputusasaanku ini. Dia pergi meninggalkanku di saat aku begitu membutuhkannya.
Dan celakanya, aku begitu menggantungkan harapan-harapanku padanya. Tanpa menoleh sedikitpun pada kenyataan buruk yang bisa saja sewaktu-waktu menghampiriku seperti saat ini. Ridwan yang ku kenal baik, mampu mengerti tentang pikiran-pikiranku yang membenci kediktatoran Ayah, Ridwan yang seringkali mendukungku ketika keputusasaan menghampiriku, kini hanya menjadi Ridwan yang pecundang, yang menyerah begitu saja menghadapi sikap Ayah. Dan akhirnya memilih jalan aman untuk lari dari kehidupanku yang memang terasa begitu kelam ini.
Aku tak memilih keduanya, baik Ridwan maupun pilihan Ayah, aku perlu waktu untuk menata hidupku. Mencari kesenanganku yang dulu sempat terenggut ketika Ayah dengan kekuasaannya menyuruhku untuk tinggal di rumah, belajar menjadi perempuan dari Ibu dan Adikku. Kini aku memilih jalanku sendiri, aku harus pergi dari keterkungkunganku ini. Tanpa Ayah, Ibu, Losari, Pratomo atau Ridwan. Meninggalkan adat yang selalu dijunjung oleh keluargaku. Tak kupedulikan tentang ucapan Ayah yang menuduhku sebagai perusak adat yang telah diwariskan oleh moyangku. Dan aku pun tak pernah bermimpi untuk memiliki sebuah keraton seperti yang telah diciptakan Ayah selama ini. Aku hanya akan mencintai budayaku dengan caraku sendiri, bukan menjadi perempuan yang hidup dalam bangsal yang dikhususkan untukku. Hingga suatu saat ketika ayah dengan kebijaksanaannya membiarkanku memilih adatku sendiri.

Ika Fibri, Maret 2008/21





BUDAYA

Sekaten
Sekaten merupakan sebuah upacara adat yang digelar keraton. Sekaten dilaksanakan selama tujuh hari. Konon, asal-usul upacara ini telah ada sejak massa kerajaan Demak. Upacara ini sebenarnya merupakan sebuah perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad. Kata Sekaten berasal dari kata Syahadatain. Sekaten dimulai dengan keluarnya dua perangkat Gamelan Sekati, Kyai Gunturmadu dan Kyai Guntursari dari keraton untuk ditempatkan di depan Masjid Agung Surakarta. Selama enam hari (mulai hari keenam sampai kesebelas bulan Mulud) kedua perangkat gamelan tersebut dibunyikan (Jw: ditabuh) untuk menandai perayaan sekaten. Akhirnya pada hari ketujuh upacara ditutup dengan keluarnya Gunungan Mulud.
Hasil suntingan dari Wikipedia Indonesia



Tim Redaksi

Pimpinan Redaksi : Susilo Adi Setyawan
Redaktur : Cerpen
- Andi Dwi Handoko
- Nur Salamah
Puisi
- Wahyu Haning L
Budaya
- Puji Rahayu
Layout : Suseno Fitri Handoko
Penerbitan : Winarni
Anggota : Semua warga Bastind.
Alamat Redaksi : Sekretariat Himprobsi
Gedung E lantai 2 FKIP UNS Jl. Ir. Sutami No. 36 A Kentingan Surakarta
Website : bastind.blogspot.com
Saran dan kritik : bastinda@yahoo.co.id (mahasiswa dan umum)



  • Redaksi menerima kiriman cerpen, puisi, essay budaya atau bentuk karya sastra dan budaya lainnya dari mahasiswa Bastind. Karya dapat dikirim (sertakan soft file) ke sekretariat redaksi atau via email dengan alamat : bastinda@yahoo.co.id

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Selamat dan Sukses atas beredarnya WARNA.....



Semoga Sukses!!!!

handoyo mengatakan...

tetap berkarya ya...saya terus mendukung orang-orang seperti kalian