30 Oktober 2008

Perempuan Perkasa


Oleh: Fadilaturrohmah ’08

Harga barang-barang melambung selangit. Bahan-bahan pokok sulit dicari. Ribuan orang berjejer tiap pagi mengantri minyak tanah. Anak-anak tak lagi dapat bersekolah. Pengangguran kian hari kian bertambah. Rakyat semakin menderita dengan terkuaknya tabir busuk penghuni Senayan. Bahkan banyak ditemui korban tak berdosa akibat tidak sanggup memikul beban ekonomi keluarga. Untungnya di desa Tlagu, Gunung Sari, masih tersimpan setitik sinar. Siti, seorang gadis desa berusia 18 tahun yang mampu menjawab tantangan hidup. Ia mengorbankan sekolahnya untuk berjualan di pasar tradisional yang letaknya tak jauh dari rumah tempat ia berteduh bersama bapaknya.
Angin pagi kala itu terasa menusuk sampai ke ulu hati. Berhembus…pelan… dan semakin energik terasa di badan. Tapi, tak satupun orang, bahkan makhluk hidup lain yang menyapanya. Hari begitu dingin sudah tentu tak ada yang mau menunjukkan merahnya untuk keluar dari pintu rumah bahkan sejengkal tangan pun. Tapi tidak dengan Siti, dia adalah perempuan perkasa.
Jangankan angin dingin, hujan badai pun dia tak takut. Siti anak yang solehah. Dia tak pernah telat salat lima waktu, puasa, zakat apalagi. padahal dia tergolong anak yang patut menjadi mustahik. Tapi dia pikir selagi dia bisa, kenapa tidak?. Menurut dia masih banyak orang yang lebih tak beruntung dibanding dirinya. Masih harus meminta-minta di jalan. Tapi tidak dengan Siti,ia memang kuat.
“Heran aku…desa sepadat ini tak ada yang mau menunjukkan batang hidungnya?Mereka pikir angin itu akan memangsa?” batin Siti menjerit, kecewa. Tapi itu tak mematahkan langkahnya menuju pasar. Ia tak peduli akan sunyi jalanan ataupun ancaman keamanan dirinya. Tak terasa satu jam berlalu dia menapaki jalan terjal di desa Tlagu. Tak lama kemudian dia berpapasan dengan seorang lelaki paruh baya. Amin namanya. Tanpa Siti ketahui, dirinya memendam rasa kekaguman pada sosok kuatnya perempuan cilik. Tapi ia hanya bisa mencibir tak selalu bisa dikenang oleh Siti. Karena memang hanya itu yang bisa dilakukan oleh Amin. Maklum, Siti hampir tiap hari bertemu dengan banyak orang di pasar. Amin takut Siti tak bisa selalu mengingatnya. Dengan mencibir paling tidak Siti bisa mengingat namanya, walaupun semburat awan hitam yang bisa Siti ingat dari sosok Amin.
“Hai Sit, bagaimana daganganmu hari ini?” tanya Amin pada Siti sambil menekuk tangannya di pinggang.
“Hei!!kau ini buta? jangan bertanya dikala aku baru keluar dari kandang! tentu takkan pernah kujawab!!”Siti meradang.
”Uhhhhh……” Siti menghela nafas panjang. Dia meneruskan langkahnya menuju tempat dimana dia mencari sesuap nasi untuk seluruh anggota keluarga. Maklumlah, bapak Siti sudah lama terbaring di kasur dengan lumpuh yang dideritanya. Ibunya sudah lama dipanggil Yang Kuasa. Dua orang kakaknya sudah lama pergi merantau ke Sumatera.
Siti tak mau diam berpangku tangan melihat bapaknya terbaring tak berdaya. Apapun akan dilakukannya guna membantu perekonomian keluarga.
“Sayurrrr……wortel-wortel……seger……seger……!!!!” seorang pedagang sayur menawarkan dagangannya ke pengunjung pasar.
“Bu, daging seger lho bu……”seorang pedagang kembali menawarkn dagangannya. Hiruk pikuk warga pasar mulai terdengar ketika Siti menggelar dagangannya. Dia menjual sayur mayur yang dia petik dari kebunnya sendiri.
“Yur….sayurrr….!!!!” teriak Siti keras-keras. Namun tak kunjung membuahkan hasil. Ia benar-benar kecewa. Tanpa pikir panjang, ia langsung kembali mengemasi dagangannya. Siti segera pulang setelah dua jam tak membuahkan hasil.
“Kenapa to nak……..jangan patah semangat!” Mbok Darmin mengingatkan.
“Sudahlah !! mbok!!aku capek!!!!” cetus Siti kesal.
“Moso’ baru dua jam saja sudah tak bertenaga? Biasanya matahari tenggelam pun kau masih betah berada disini!” tegas mbok Darmin yang sudah dianggap Ibu sendiri oleh Siti.
“Aku heran mbok, kenapa pasar sebesar ini hanya ada satu dua orang saja yang mampir!!!”.
Siti nampak amat kesal, dia bicara begitu keras sambil menjejakkan kaki kanannya keras-keras ke lantai berdebu di pasar itu.
“Apa orang desa telah berganti baju menjadi kucing kota?” Siti mengeluh. Air matanya menetes. Tak mampu lagi untuk ditahan. Dia tak kuasa terus berada di pasar, dan segera beranjak menuju rumah.
Belum selesai masalah kenaikan harga, rakyat miskin seperti Siti sudah kembali menderita dengan dibangunnya mall-mall besar. Tentu berimbas pada omset pedangang pasar tradisional. Bukan hanya Siti, pedagang lain pun ikut mengeluh. Mereka kehilangan mata pencahariannya.
“Greekkk…….gubrakkkk!!” keras–keras pintu dibuka. Siti menaruh barang dagangannya spontan di dekat pintu. Dia langsung menuju kamar, tapi tanpa sadar bapaknya terbangun dari tidurnya.
“Anakku……Siti, sini nak!” rintih bapak Siti.
Siti segera berbalik langkah menuju kamar bapaknya.
“Ehmmmmm...”, Siti datang tanpa kata-kata, dia hanya menunjukkan wajah muram.
“Bila seorang anak murung, Bapak pasti tahu…..” bapak berbisik ditelinga Siti.
Siti tak kuasa menahan air mata. Dia telah berubah menjadi sosok yang cengeng dalam waktu sekejap. Duduk bersimpuh di kaki Bapaknya.
“Pak maafin Siti ya? Siti ndak bisa lagi jualan di pasar pak…..” kata Siti sambil menunduk.
“Kau bukan Siti yang kukenal!!? Siti yang kukenal adalah seorang perempuan perkasa. Dia takkan pernah mengenal putus asa!” Bapak Siti bernada keras sambil tetap berbaring di kasur kapuk yang isinya telah menciut.
“Aku bosan pak, bosan dengan tiap keputusan yang diambil pemerintah! Mereka terus membangun mall-mall besar, tanpa sadar mereka menusuk ulu hati pedagang pasar!” Siti terus menerus meluapkan perasaan yang berkecamuk di hati dengan napas terengah-engah.
Bapaknya tak mampu berkata apapun, dia diam. Tak tahu apa yang harus dia lakukan tuk mengobati luka hati anaknya.
“Siti, bapakmu bukanlah orang hebat yang mampu merubah semuanya, bapak hanya bisa berdoa mudah-mudahan dunia ini segera menunjukkan keadilan pada orang kecil seperti kita.”
Bapak Siti menatap langit–langit rumah yang tampak usang sambil menengadahkan kedua tangannya memohon pada yang Kuasa. Sedangkan Siti pergi ke kamarnya meringkuk sendiri merenungi apa yang telah ia perbuat. Sementara senja di luar menampakkan warna yang begitu damai. Siti kemudian sadar akan sebuah perjalanan dan perjuangan hidup. Ia menatap dinding kamarnya. Ia menumbuhkan semangat diri, lalu membayangkan esok pagi ia akan menikmati setiap jejak langkahnya dan dengan semangat membara ia akan meneriakkan ”Sayur...!!! Sayur..........!!!”?

gambar dari: menotimika.wordpress.com

13 Oktober 2008

PUISI


Doa Pecinta

Saat termangu dalam cinta
Damai terasa begitu dekat
Tak terasa...
Saat menatap dalam cinta
Hanya janji yang terucap
Tak bermakna...
Telah lama terbuai,
Indahkan janji yang Kau cipta
Penuh upaya hindari,
Rahmat yang Kau hadirkan
Aku tak berhak meminta
Karena aku tak bisa menjaga
Aku tak layak membenci
Karena aku tak pernah memiliki
Andai semua pun sirna
Pecinta kan berdoa
Jangan Kau cemburui dunia
Karena cinta sang pecinta
By PR’07


HARI YANG DIDAMBA
Dunia yang elok dengan mimpi
Alam bersua pada malaikat kecil
Merajuk ingin segera pagi
Dengan kumandang nada suci
Dunia telah terkoyak dalam sebulan
Berpacu dalam lapar dan dahaga
Merorong mengharap keridho-an
Meski tak tahu balasan apa nantinya
Dunia kan bersorak
Menyambut jiwa-jiwa suci
Dan alam pun mengharap surya
Tak tenggelam hari ini...
By PR’07